Hadis Sebagai Sumber Ajaran Islam

(Azzura Fathanul Umara – Ilmu Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Islam sebagai salah satu agama samawi tentu memiliki sumber-sumber ajaran yang diakui oleh seluruh penganutnya. Sumber-sumber ajaran tersebut adalah Al-Qur’an dan juga Hadis secara berurutan. Penetapan kedua hal tersebut berikut dengan urutannya tentu dinisbatkan kepada apa yang disampaikan oleh Rasulullah saw. sendiri.

Sebagai contoh, dapat kita temukan hadis mengenai peristiwa saat Rasulullah hendak mengutus sahabat Muadz bin Jabal sebagai hakim atau qodi di Mesir. Dalam peristiwa tersebut Rasulullah menanyakan pada Muaz mengenai apa yang ia jadikan sebagai dasar dalam menghukumi sesuatu yang kemudian dijawabnya Al-Qur’an, dan Hadis serta ia akan ber-ijtihad jika tidak menemukannya di dalam Al-Qur’an maupun Hadis. Peristiwa tersebut pada dasarnya menunjukkan afirmasi dari Rasulullah saw. dalam penggunaan Al-Qur’an dan kemudian Hadis sebagai sumber ajaran. Peristiwa ini juga diperkuat dengan wasiat nabi kepada umat islam untuk tidak melepaskan diri dari Al-Qur’an dan Hadis.

Kedua sumber ajaran utama agama islam terdiri dalam sebuah urutan yang menunjukkan kekuatan posisi dari satu sumber atas sumber lainnya. Al-Qur’an memiliki kekuatan atau tingkatan yang lebih tinggi atas Hadis sebagai sumber ajaran. Pembahasan dan persepsi mengenai Al-Qur’an dalam konteks sumber ajaran-pun sudah lengkap dan mungkin hampir tidak terdapat lagi perdebatan mengenai topik ini.

Berbeda dengan Al-Qur’an, Hadis sebagai sumber hukum dipandang dengan persepsi dan pemahaman yang berbeda-beda. Secara etimologis Hadis memiliki makna berupa berita dan baru (khabar dan jadiid). Sedangkan secara terminologis, ahli hadis mendefinisikan hadis sebagai sesuatu yang disandarkan pada Rasulullah saw. baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir (ketetapan). Namun, di sisi lain ulama fikih memberi batasan tersendiri hanya pada hal-hal yang bersangkutan hukum.

Pembatasan yang demikian memiliki implikasi yang cukup besarm. Dengan demikian, maka hadis-hadis atau berita-berita mengenai perkataan dan perbuatan Rasulullah yang tidak berkaitan dengan hukum bukanlah Hadis. Pemahaman mengenai perbedaan persepsi yang demikian jika tidak disampaikan dengan baik tentu dapat menimbulkan gesekan-gesekan tertentu bagi orang awam.

Kemudian, terdapat persepsi-persepsi dan pemahaman yang beririsan pula mengenai Hadis, Sunnah, Atsar, dan Khabar. Perbedaan persepsi antara 4 hal berikut merupakan sesuatu yang cukup menarik untuk dibahas, dan juga merupakan bukti mengenai kayanya khazanah keilmuan agama islam.

Antara Hadis dan Sunnah, terdapat perbedaan signifikan di antara keduanya, walaupun seringkali dua istilah tersebut dianggap sama. Pertama ialah secara etimologis Sunnah berarti jalan yang dilalui, perilaku, dan juga dapat dimaknai sebagai tradisi. Kemudian Sunnah memiliki ruang lingkup yang lebih luas, yaitu mencakup sifat-sifat nabi yang mencakup sebelum masa kenabian hingga Nabi wafat. Pemahaman tersebut ialah pemahaman jumhur ulama hadis.

Ulama ushul dan ulama fikih memiliki persepsi yang berlainan terkait Sunnah. Ulama ushul mendefinisikan Sunnah dengan rumusan yang berkaitan dengan fungsi Rasulullah sebagai penetap perundang-undangan terhadap manusia di luar Al-Qur’an. Ulama Fikih di lain sisi mendefinisikan Sunnah sebagai segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah saw. Berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir berupa ketetapan dalam bentuk hukum taklif yang bukan wajib. Ulama Fikih mendefinisikan Sunnah sebagai bentuk hukum dalam ibadah.

Selain persepsi antara Hadis dan Sunnah, terdapat juga beberapa bentuk pemahaman terkait Hadis, Khabar dan juga Atsar. Terdapat ulama yang menyamakan antara Hadis, Sunnah, dan Khabar serta Hadis, Sunnah, dan Atsar. Namun kemudian terdapat pula ulama yang membedakan, bahwa Khabar itu terbagi menjadi 2 (dua), yaitu Khabar yang datang dari Nabi dan Khabar yang datang dari selain Nabi. Sama halnya dengan Khabar, Atsar dipahami sebagian ulama sebagai sesuatu yang disandarkan pada Sahabat dan Tabi’in saja.

Perbedaan-perbedaan yang demikian tentu dapat menimbulkan kebingungan dan perbedaan persepsi. Satu hal penting yang dapat disadari dari hadirnya perbedaan-perbedaan tersebut ialah bahwa semangat untuk menimba ilmu harus terus diperbarui guna meningkatkan pemahaman dan memperluas persepsi untuk mencapai lingkar pandang dalam memahami agama islam sebagai sebuah agama yang utuh.

 49,766 total views,  2 views today

Posted in Opini.