Rifki Azka
19105050039@student.uin-suka.ac.id
Pengantar
Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak bisa terlepas dari interaksi, sosialisasi, dan komunikasi. Komunikasi sangat penting bagi manusia, karena dengan hal tersebut dapat mengungkapan apa yang mereka harapkan terhadap orang lain di dalam aktivitasnya. Manusia juga adalah makhluk yang sadar, di mana manusia mengetahui dan memperhatikan tingkah laku dan perkataannya. Menyadari seluruh arti dari segala perbuatannya dengan tujuan mengimplementasikan dirinya di kehidupan sehari-hari.
Manusia sebagai individu memiliki kesadaran atas emosi, sikap dan perasaan dari dirinya sendiri. Spiritualitas menjadi aspek penting bagi individu setiap manusia. Spiritualitas adalah kebutuhan bawaan dari diri manusia untuk berhubungan dengan sesuatu yang berada di luar diri manusia dan menarik perasaan dari individu manusia itu sendiri.
Spiritualitas adalah kebangkitan atau pencerahan dari diri manusia dalam mencapai tujuan dan makna hidup. Spiritualitas merupakan bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan seseorang (Hasan, 2006: 288). Menjadi spiritual berarti memiliki ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material.
Berfikir dengan diri sendri adalah aktivitas manusia yang tidak dapat dihindari. Self (diri) adalah pusat dari dunia sosial dari setiap orang, sehingga muncullah pada gambaran dan penilaian diri, ini disebut konsep diri. Jadi, konsep diri adalah pandangan dan perasaan tentang diri yang bersifat psikologi, sosial dan fisik. Gambaran yang muncul dari konsep diri yaitu apa yang dipikirkan dan apa yang dirasakan tentang diri (RahmatJ, 2007:99-100).
Di dalam negara Indonesia sendiri, manusia memiliki beragam kehidupan sosial, termasuk juga gender manusia yang ada di Indonesia. Masyrakat Indonesia sendiri seringkali memahami gender itu hanya sebatas pria dan wanita ataupun maskulin dan feminism tanpa mempertimbangkan jenis kelamin (gender) yang lain. Ada masalah sosial di Indonesia yaitu transgender, yakni salah satunya waria. Waria adalah gabungan antara laki-laki dan wanita atau seorang laki-laki yang sering berpenampilan seperti wanita.
Waria merupakan salah satu penyandang masalah kesejahteraan sosial di Indonesia, baik ditinjau secara psikologis, sosial, norma, maupun secara fisik. Para waria merasakan ketidaknyamanan dengan jatah dan peran gender yang seharusnya kemudian, mereka berusaha untuk melakukan hal sebaliknya (gender yang sebaliknya) untuk merasakan kenyamanan di dalam kehidupannya. Namun, mereka tidak ada niat untuk melakukan operasi ganti kelamin. Gejala waria termasuk bagian dari aspek sosial transgenderisme.
Spiritualitas Waria di Pondok Pesantren al-Fatah Kotagede Yogyakarta
Di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat sebuah pondok waria di daerah perbatasan Kota Yogyakarta dan Bantul tepatnya di Kotagede. Pondok pesantren ini adalah pondok pesantren yang dihuni oleh para waria. Walaupun dihuni oleh santri yang memiliki masalah kesejahteraan sosial yaitu waria, mereka tetap melakukan kegiatan-kegiatan pondok pesantren pada umumnya.
Pondok pesantren ini didirikan pada tahun 2008 (pasca gempa bumi 2006 di Yogyakarta). Awalnya ada beberapa waria yang terkena dampak dari gempa bumi tersebut, kemudian para waria memiliki gagasan untuk melakukan doa bersama untuk para korban gempa. Para waria dipimpin oleh seorang ustadz yang bernama Pak Hamroli dan kemudian beliau mencetuskan untuk diadakannya pengajian rutin tiga bulan sekali.
Salah satu waria yang bernama ibu Nur mengajak teman-teman warianya untuk melakukan kegiatan mengaji dan itu disetujui oleh Pak Hamroli. Awalnya segerombolan waria tersebut melakukan kegiatan belajar mengaji dan pengajian rutin dengan cara mengontrak sebuah rumah yang ada di daerah Mertoyudan. Kemudian wakil pondok pesantrennya Bu Shinta yang sekarang menjadi ketua pondok pesantren menyarankan untuk didirikan pondok pesantren untuk teman-teman waria. Akhirnya didirikanlah pondok pesantren waria al-Fatah di Kotagede Yogyakarta.
Santri di pondok pesantren al-Fatah ini ada 42 santri. Para waria yang hidup di pesantren waria al-Fatah ini melakukan berbagai macam kegiatan kerohanian seperti; pengajian rutinan dan non rutin, belajar mengajar al Quran dan tata cara untuk beribadah. Pondok pesantren al-Fatah ini sebagai tempat untuk belajra bagaimana cara hidup yang lebih baik dan para waria punya pemikiran bahwasannya para waria memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk mendapatkan keyakinan beragama mereka. Inilah bentuk spiritualitas dari para waria yang selama ini diremehkan oleh masyarakat, karena para waria tidak pantas memiliki agama bahkan Tuhan dalam kehidupannya.
Konsep Diri Waria di Pondok Pesantren Al-Fatah Kotagede Yogyakarta dalam Kehidupan Sehari-hari
Seluruh santri yang ada di pondok pesantren al-Fatah ini masuk ke pondok bukan atas dasar keterpaksaan, akan tetapi para waria masuk ke pondok ini berdasarkan kenyamanan dari waria itu sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari para waria sangat dikucilkan dan sering menerima bullying dari masyarakat sekitar. Akan tetapi, atas dasar bimbingan dari pak Hamroli para waria mulai menemukan kesadaran dan punya rasa kepercayaan diri atas adanya waria itu sendiri.
Awalnya sebelum pindah ke daerah Kotagede, para waria sangat merasa dianggap sebagai kaum minoritas yang mencolok di masyarakat dan memandang sebagai pembawa pengaruh buruk untuk masyarakat sekitar. Setelah di wakafkan rumah bu Shinta sebagai pondok pesantren waria al-Fatah, para waria akhirnya punya prinsip bahwa kami berhak memiliki keyakinan rohani maupun secara lahiriyah ataupun batiniyah. Waria memliki konsep hidup yang sama dengan umumnya masyrakat sekitarnya.
Cara Bersosialisasi Waria di Pondok Pesantren Al-Fatah Kotagede Yogyakarta dengan Masyarakat Sekitar
Sebelum didirikannya pondok di Kotagede ini, para waria ternyata sudah sering berkunjung ke daerah tersebut untuk belajar sanggar seni. Pada awalnya memang kurang disukai oleh masyarakat sekitar, lambat laun meihat temen-temen waria ini sebenernya memiliki hak yang sama dengan orang lain, akhirnya mereka akrab dengan masyarakat. Salah satu bentuk pendekatan mereka dengan masyarakat dengan cara menjaga budaya bangsa Indonesia melalui seni sanggar yang didirikan oleh teman-teman waria.
Setelah didirikannya sanggar kemudian, berdirilah pondok pesantren al-Fatah. Masyarakat sekitarpun setuju dan mensupport adanya pondok pesantren tersebut. Seiring berjalannya pondok pesantren al- Fatah ini para waria juga mengadakan kegiatan bakti sosial dengan masyrakat sekitar, serta melakukan pengajian rutin yang mengundang masyarakat. Dari sinilah para waria mendapatkan kenyamanan dengan masyarakat sekitar.
Tidak bisa dipungkiri bahwasannya gender waria ada di kehidupan Indonesia dan waria memiliki hak kehidupan yang layak seperti orang pada umumnya. Penelitian ini memberikan gambaran makna hidup pada waria, apa saja yang membuat diri subyek memutuskan untuk menjadi waria, bagaimana pemaknaannya terhadap hidup karena pemaknaan kepada hidup memberikan kekuatan dalam diri seseorang untuk dapat tegar, tabah dan bangkit dalam menghadapi problematika hidup.
Waria adalah manusia biasa yang juga memiliki perasaan dan keyakinan atas dirinya. Maka dari itu, penelitian ini memberikan pemahaman bahwa waria juga bisa beribadah, berkeyakinan, dan bersosial tanpa harus dikucilkan dan diasingkan. Itu semua bentuk cara konsep waria menjalani hidup dan menjadi orang berspiritualitas yang terjadi di pondok pesantren al-Fatah Kotagede Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Andayani Budi, Afiatin Tina (2016). Konsep Diri, Harga Diri, dan Kepercayaan Diri Remaja. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Pustakasari, Endahing Noor Iman (2014). Hubungan Spiritualitas Dengan Resiliensi Survivor Remaja Pasca Bencana Erupsi Gunung Kelud di Desa Pandansari-Ngantang-Kabupaten Malang. Undergraduate Thesis, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Arini, H. N. (2013). Hubungan Spiritualitas dengan Kompetensi Perawat dalam Asuhan Spiritual Pasien. Skripsi. Universitas Jenderal Soedirman
Zahid, Reza Ahmad (2020) Keberagamaan Kaum Waria: studi kehidupan beragama Kaum Waria di Kota Kediri. PhD thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya.
2,738 total views, 2 views today
Sebagai sebuah ijthad dalam rangka mengembangkan kajian Studi Hadis di Indonesia dibentuklah sebuah perkumpulan yang dinamakan dengan Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia (ASILHA). Sebagai sebuah perkumpulan ASILHA menghimpun beragam pemerhati hadis di Indonesia. Himpunan ini terdiri atas akademisi dan praktisi hadis di Indonesia dengan memiliki tujuan yang sama.