Oleh: Dr. Ja’far Assagaf, MA
Dosen UIN Sunan Kalijaga dan Pengurus Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia (ASILHA) bidang Riset dan Pengembangan Ilmu
Pada tulisan di Kajian Pertama telah dikemukakan dua bagian terkait bahasan ini, dan pada bagian ketiga inilah penulis berupaya mengaplikasikan hadis dha’if dalam masalah tawasul ‘bergerak menjadi hujjah’ karena memiliki sumber mutawatir yaitu bagian pertama berisi beberapa ayat dari dua surah al-Qur’an dan sumber yang shahih yaitu hadis-hadis pada bagian kedua dari Anas ra, Ummu Salamah ra dan Asma binti Abi Bakar ra.
- Peristiwa Sahabat Khalid ra, Bilal bin al-Harits ra, dan Utsman bin Hunaif ra
Bagian ketiga, pada bagian ini sebenarnya lebih banyak lagi hadis yang secara terang-terangan terkait tawasul pada Nabi suci saw setelah wafatnya, namun penulis cukup memuat 3 darinya, yaitu: (1) Khalid bin al-Walid (w. 21 H) menyimpan rambut Nabi suci saw di kopiahnya, dan karena itu ia memperoleh kemenangan dalam peperangan-peperangannya (HR. al-Thabaraniy dalam al-Kabir); (2) orang bertawasul di kuburan Nabi suci saw saat kemarau pada zaman khalifah Umar ra (HR. Ibn Abi Syaibah), orang tersebut bernama Bilal bin al-Harits al-Muzaniy (w. 60 H) (al-Maliki, Mafahim Yajib an Tushahhah); (3) orang yang bertawasul pada Nabi suci saw setelah ia tidak dipedulikan oleh khalifah Utsman (w. 35 H) (HR. al-Thabaraniy dalam al-Shagir). Status tiga riwayat pada bagian ini diperdebatkan meski banyak ulama menyatakan ketiganya sahih atau paling tidak hasan.
Nilai tiga riwayat di bagian ini, yaitu: (1) kisah Khalid yang menyimpan rambut Nabi suci saw, para perawinya termasuk perawi kitab shahih, tapi tabi’in bernama Ja’far bin Abdullah bin al-Hakam (w. 100-110 H) salah satu perawi dalam shahih Muslim, belum dapat dipastikan bertemu dengan Khalid (al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid, X, 349), riwayat ini juga dimuat Ibn Hajar dalam al-Mathalib al-’Aliyah; (2) Bilal bin al-Harits al-Muzaniy yang bertawasul di kuburan Nabi suci saw di zaman ‘Umar dalam riwayat Ibn Abi Syaibah dinilai shahih oleh Ibn Hajar (Fath al-Bari, III, 183-184); (3) orang yang bertawasul pada Nabi suci saw setelah diajarkan caranya oleh sahabat Utsman bin Hunaif (w. 60 H), maka dikabulkan hajatnya oleh Khalifah Utsman yang sebelumnya sempat menolak hajat orang itu, hadis ini dinilai shahih oleh Thabarani (w. 360 H) sendiri dan al-Haitsami (al-Mu’jam al-Shagir, 1, 306; Majma al-Zawaid, 2, 279). Sebenarnya hadis ini merupakan kejadian kedua kali, karena sebelumnya terjadi di masa Nabi suci saw hidup, dimana ada orang yang datang meminta didoakan dan Utsman bin Hunaif ada disitu, hadis ini dinilai shahih oleh al-Hakim (w. 405 H) dan disetujui oleh al-Dzahabiy (w. 748 H) (Mustadrak, I, 707; Mafahim Yajib an Tushahhah). Sebab itu Utsman bin Hunaif kembali mengajarkan pada orang lain di masa khalifah Utsman bin ‘Affan berkuasa (23-35 H).
Dari tiga riwayat di atas, hanya kejadian Khalid yang dinilai kontroversial karena bermasalah di ketersambungan sanad, tetapi perlu diingat bahwa ketiga peristiwa tersebut tetap memuat satu konteks utama yang sama yaitu adanya tindakan tawasul pada Nabi suci saw pasca wafatnya, meski peristiwanya beragam (al-madlul wahid wa al-waqai‘ mutanawwi‘ah) maka dapat dinyatakan praktek tawasul seperti itu telah ada dan berlangsung di di zaman sahabat.
Memang ketiga peristiwa di atas termasuk hadis mauquf (hanya sampai pada sahabat, dan tidak pada Nabi suci saw) sebagaimana pada bagian kedua yang berisi hadis dari Anas, Ummu Salamah dan Asma binti Abi Bakar. Meski hadis dan riwayat pada dua bagian tersebut mauquf dan karenanya dikategorikan dha’if, tetapi masih dapat dijadikan hujjah karena beberapa alasan selain yang sudah dikemukakan di tulisan kajian pertama, yaitu:
(1) untuk membuktikan kebolehan tawasul pada Nabi suci saw tentu setelah wafatnya dan bukan di saat sang Rasul suci saw masih hidup, sebab kewafatannya sebagai data empiris yang menjadi standar utama mengkaji tentang boleh atau tidak boleh seseorang bertawasul pada Nabi suci saw pasca wafatnya, maka beberapa hadis mauquf kemungkinan justeru bisa menjadi sumber primer induktif karena berasal praktek tawasul setelah wafanya Nabi suci saw secara langsung ataupun tidak berasal dari sahabat, dan mereka adalah ‘sumber’ ajaran dan interpretasi agama Islam.
(2) hadis mauquf dapat dijadikan hujjah kalau isinya tidak terdapat ruang untuk berijtihad seperti telah dikenal dalam ulum al-hadis, yaitu para sahabat saat menyatakan dan melakukan sesuatu tidak berdasar ijtihadnya. Ulama menyebutkan misalnya dalam masalah penafsiran tentang hal-hal ghaib yang ada di dunia maupun akhirat, tentang surga dan neraka, atau terkait pahala dan siksaan, maupun tentang sebab turunnya ayat al-Qur’an. Hal-hal tersebut, bila dinyatakan dan dilakukan oleh sahabat, maka ulama hadis menilai sebenarnya itu semua bersumber dari Nabi suci saw dan bukan dari ide atau ijtihad pribadi sahabat (al-Raziy, IV, 449; al-Sakhawiy, I, 216-217, 224-225).
Tawasul dapat dikategorikan bagian dari urusan ghaib berkaitan dengan kehidupan dunia menuju akhirat, tawasul juga dapat masuk dalam kategori urusan pahala karena tawasul dapat diinterpertasi dari QS: al-Maidah;35 yang berisi perintah Allah mencari wasilah (perantara) yang berkonotasi umum dan diikat sebelumnya dengan perintah bertaqwa. Orang yang bertawasul tidaklah menyembah pada selain Allah swt, tetapi mereka menjadikan sesuatu yang disayang, dicintai dan diberi kelebihan oleh Allah swt seperti Nabi suci saw sebagai perantara. Praktek dari Ummu Salamah, Asma, Khalid dan sebagainya belumlah sampai mencari keberkahan dari diri Nabi suci secara totalitas (kulli), tetapi pada bagian (juz’iy) dari dirinya seperti jubah dan rambutnya, dan itu dianggap tidak masalah setidaknya menurut sahabat-sahabat tersebut. Maka bagaimana pula jika mereka ngalap berkah kepada diri Nabi suci secara keseluruhan untuk dijadikan perantara ? tentu hal ini jauh lebih utama karena totalitas diri Nabi suci saw lebih sempurna dari bagian-bagiannya. Meski hadisnya mauquf pada bagian kedua dan ketiga, namun dapat dinilai apa yang dilakukan sahabat bukan merupakan hasil ijtihadnya, terlebih sebelumnya Nabi suci saw membagikan dan membiarkan rambutnya diambil oleh sahabat seperti dalam riwayat Muslim dari Anas, maka gerangan apakah pembiaran tersebut ? apakah Nabi suci saw tidak terfikir kalau sebagian sahabatnya akan melakukan seperti yang dilakukan oleh Ummu Salamah, Asma dan lainnya setelah beliau wafat ?,
Konteks di atas yang menjadikan penulis menilai mauqufnya riwayat-riwayat bagian pertama dan kedua sesungguhnya tidak benar-benar mauquf sebab di sana ada indikasi yang kuat pembiaran Nabi suci saw sejak awal tentang ngalap berkah sebagai perantara. Disini sebuah teori dapat dikembangkan kalau hadis mauquf yang dinilai marfu’ tidak hanya terbatas pada kata-kata sahabat seperti dari bagian sunnah, kami diperintahkan, kami melakukan di masa Nabi suci saw, dan bagian dari tafsiran sahabat terkait hal-hal ghaib dan lainnya seperti telah disebutkan (al-Sakhawiy, I, 194-237), tetapi mauquf yang bernilai marfu’ dapat pula dari perbuatan sahabat pasca wafatnya Nabi suci saw, namun bagian perbuatan itu pada hakikatnya merupakan bagian tak terpisahkan dari apa yang sudah ada di masa Nabi suci saw hidup seperti dalam riwayat Anas kalau sahabat mengambil rambut Nabi suci saw di masa hidupnya dan ada pembiaran yaitu taqrir al-nabiyyi, lalu di masa setelah wafanya Nabi suci saw, sahabat melakukan praktek seperti Khalid, Ummu Salamah dan Asma.
Pemahaman ini sebenarnya terinspirasi dari teori Ibn Hajar tentang hadis mauquf dinilai marfu’ seperti dalam hadis pintu Nabi suci saw diketuk oleh sahabat dengan menggunakan kuku, menurut Ibn Hajar, perbuatan sahabat tersebut secara nyata mauquf karena sahabat yang melakukan, namun makna dari perbuatan tersebut bernilai marfu’ karena ada unsur taqrir nabi suci saw dalam hal ini (al-Sakhawiy, I, 212), maka penulis tambahkan terkait taqrir dari Nabi suci saw ketika masih hidup yaitu pembiaran sahabat mengambil rambutnya bahkan beliau sendiri memberikannya dan saat itu diduga kuat Nabi suci saw dapat mengethaui apa yang akan sahabat lakukan dengan rambutnya tersebut pasca wafatnya, yaitu bertabaruk untuk dijadikan perantara.
Kartasura, 03-11-2020
2,904 total views, 4 views today
Sebagai sebuah ijthad dalam rangka mengembangkan kajian Studi Hadis di Indonesia dibentuklah sebuah perkumpulan yang dinamakan dengan Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia (ASILHA). Sebagai sebuah perkumpulan ASILHA menghimpun beragam pemerhati hadis di Indonesia. Himpunan ini terdiri atas akademisi dan praktisi hadis di Indonesia dengan memiliki tujuan yang sama.