Gema Maulid; Aplikasi Hadis Dha’if dari Sumber Mutawatir dan Shahih dalam Studi Tawasul pada Nabi suci Muhammad saw setelah Wafat (Kajian Pertama)

Oleh: Dr. Ja’far Assagaf, MA

Dosen UIN Sunan Kalijaga dan Pengurus Asosiasi Hadis Indonesia (ASILHA) bidang Riset dan Pengembangan Ilmu

Meski dalam situasi pandemi, di bulan-bulan ini; Oktober dan Nopember 2020, masih terlihat beberapa perayaan maulid Nabi suci Muhammad saw secara terbatas yang bertebaran di seantero negeri tercinta Indonesia. Perayaan yang konon pertama kali dibuat meriah oleh sultan Mudzaffaruddin; Kukuburiy bin Ali di Irbil Irak (w. 630 H) sekitar abad 7 H (Ibn Khallikan, Wafayat al-A’yan; 1971, IV, 117-119) dan berkesinambungan sampai masa kini menjadi hal-hal baru yang baik. Tidak ada larangan agama untuk merayakan maulid sebagai bagian dari kebiasan, maka hal ini menjadi al-‘adat al-ma’rufah wa al-hasanah yaitu adat yang sudah dikenal dan baik. Polemik tentang perayaan maulid telah ‘selesai’ untuk diungkit lagi, sebab sesuatu yang tidak ada larangan dalam agama terkait dengan adat kebiasaan maka hal tersebut boleh demikian dalam kaidah ushul fiqh, dan menurut Ibn Hajar al-Asqalaniy (w. 852 H) siapa pun dalam merayakan maulid dan bermaksud memperoleh aneka kebaikan dalam aktifitas tersebut dan menjauhi hal-hal buruk maka itu adalah bid’ah hasanah (al-Suyuthi, Husn al-Maqshad fi ‘Amal al-Maulid, 1985, 16).

Dalam kaitan merayakan maulid Nabi suci saw, sebagian kaum Muslim menjadikan sebagai tawasul pada Nabi penutup itu, konteks tersebut yang akan dikaji dalam tulisan ini. Perlu dipahami bahwa tawasul secara bahasa berarti mendekat, menjadikan sesuatu sebagai perantara (Qal’ajiy & Qanibiy, 151, 1988) yaitu wasilah (sarana, perantara) yang dapat berbentuk apa saja yang dengannya (sarana itu, seseorang) mendekatkan pada sesuatu (al-Jurjani, 2003). al-Malikiy (w. 1425 H/2004 M) mendefinisikan tawasul adalah salah satu cara berdoa dan merupakan salah satu bagian (cara) menghadap Allah swt, dan maksud yang sebenarnya (dalam tawasul) adalah Allah swt (bukan yang lain), dan siapapun yang berkeyakinan selain itu maka ia telah syirik. Orang yang bertawasul (mutawassil) dengan perantara (misalnya Nabi dan sebagainya), karena kecintaannya pada perantara tersebut dan berkeyakinan Allah swt mencintai perantara itu, tanpa ada keyakinan kalau perantara itulah yang memberi manfaat dan mudharat dengan sendirinya, seperti sebab dan mudharat ( yang berasal dari) Allah swt (Mafahim Yajib an Tushahhah).

Ulama nampaknya tidak berbeda pendapat tentang bertawasul dengan menggunakan amalan shaleh seperti kisah tiga orang yang terkurung di gua (HR. Bukhari & Muslim) dan bertawasul pada orang yang masih hidup seperti pada Abbas bin Abd Mutthalib ra (w. 32 H) saat paceklik di zaman Umar ra (w. 23 H) (HR. Bukhari). Polemik ulama terjadi pada bolehkah bertawasul pada orang yang sudah meninggal, seperti bertawasul pada Nabi suci saw di masa kini?

Aplikasi atau penerapan hadis tawasul pada Nabi suci Muhammad saw akan dilihat pada tiga bagian: pertama, ayat Qur’an yang secara tersurat memuat praktek pelaksanaan tawasul; kedua, hadis shahih yang mengindikasikan adanya tawasul pada Nabi saw suci yang dilakukan oleh sahabat ra atau tabi’in; ketiga beberapa hadis yang secara jelas menunjukkan adanya tawasul pada Nabi suci saw setelah wafat, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in, namun status hadisnya masih dalam polemik.

  1. QS: al-Baqarah: 246-248 dan QS: Yusuf; 93-96

Pada bagian pertama ini, QS: al-Baqarah: 246-248 menyatakan secara khusus tentang bani Israil, saat berperang ketika itu mereka membawa Tabut (التابوت), di dalamnya terdapat beberapa peninggalan Nabi Musa as dan Nabi Harun as. Bani Israil kerap membawa Tabut itu menjadikan mereka tenang (ayat 248) ketika berperang dan memperoleh kemenangan karena Tabut tersebut bersama mereka (Ibn Katsir; I, 403-404). Sementara teks QS: Yusuf; 93-96 berisi qamis Nabi Yusuf as menjadi perantara sembuhnya penyakit mata Nabi Ya’qub as.

Kedua peristiwa di atas digunakan sebagai hujjah bertawasul masih polemik, karena keduanya tidak secara tegas menyatakan tentang tawasul. Tetapi perlu diingat secara logika dan konteks pengamalan ayat berdasar kajian historis saat itu, menunjukkan bani Israil menjadikan Tabut yang berisi pakain, sandal dan beberapa barang Nabi Musa dan Nabi Harun alaihima al-salam seolah sebagai perantara kemenangan yang mereka raih, bahkan teks ayat QS:al-Baqarah;248 secara tegas menyatakan bani Israil memperoleh sakinah (ketenangan) lantaran Tabut bersama mereka saat berperang, dan sebab itu muncullah ketenangan yang menghasilkan kemenangan dengan izin Allah swt. Sementara QS: Yusuf; 93-96 secara jelas menyebutkan qamis Nabi Yusuf menjadi penyebab sembuhnya mata Nabi Ya’qub alaihima al-salam. Kedua peristiwa di atas merujuk bahwa alat atau benda mati menjadi perantara (wasilah) memperoleh kemenangan dan kesembuhan dengan izin Allah swt, dengan cara memberikan kelebihan kepada dua barang tersebut sebagai perantara ketika itu pada saat dibutuhkan.

  1. Hadis dari Sahabat Anas ra, Ummu Salamah, dan Asma binti Abu Bakar ra

Bagian kedua, dua hadis riwayat Muslim dari Anas (w. 93 H): (1) tentang rambut Nabi suci saw saat dipotong lalu diambil oleh sahabat (Muslim, 1993, II, 412); (2) Nabi suci saw membagikan rambutnya pada sahabat selesai bercukur setelah dari Mina dan berkurban (Muslim, 1992, I, 497). Ummu al-mu’minin yaitu Ummu Salamah ra (w. 62 H) menyimpan beberapa helai rambut Nabi suci saw, agar orang yang sakit bisa menggunakan sebagai penawarnya seperti dalam sahih al-Bukhari (1995, IV, 46), sementara Asma binti Abu Bakar ra (w. 73 H) menyimpan sejenis jubah Nabi suci saw dan diperuntukkan bagi orang yang sakit agar dapat sembuh dengan perantara keberkahan jubah tersebut (Muslim, II, 304). Pada bagian kedua ini, semua hadis yang dikemukakan mengindikasikan adanya tawasul pada Nabi suci saw melalui bertabaruk pada rambut dan jubahnya, baik ketika Nabi suci saw masih hidup maupun sudah wafat. Sebenarnya banyak sekali hadis semakna, namun dicukupkan beberapa di antaranya dari kitab sahih. Pada bagian ini pula, penulis sengaja mengemukakan contoh dengan menggunakan benda yang dapat bertahan lama seperti rambut dan jubah karena ada kaitan dengan konteks pengamalan setelah Nabi suci saw wafat pada bagian ketiga.

Pada bagian ini, hadis-hadis yang dinukil adalah shahih, meski tidak tegas berisi tentang tawasul namun tegas berisi tentang tabaruk yaitu sahabat berusaha ngalap berkah dari rambut dan jubah Nabi suci saw; baik ketika hidupnya seperti di dua hadis Anas ra dan setelah wafatnya seperti di riwayat Ummu Salamah ra dan Asma binti Abu Bakar ra. Mencari keberkatan atau ngalap berkah (tabarruk) yang sahabat lakukan setelah Nabi suci saw wafat tentu tidak lain dan tidak bukan sebagai wasilah (perantara) bagi kesembuhan penyakit yang dialami orang-orang pada masa itu. Bila dinyatakan kalau sahabat hanya sekedar bertabaruk, maka fungsinya untuk apa? tentu bagi mereka dan orang lain yang menghadapi kesulitan maka rambut dan jubah Nabi suci saw berfungsi tidak sekedar sebagai berkah, namun melalui keberkahan tersebut maka kedua barang itu menjadi wasilah (perantara), yang dengannya, Allah berkenan mengizinkan permohonan mereka terkabul. Bila dinyatakan bahwa riwayat Ummu Salamah dan Asma, keduanya adalah hadis mauquf dan karena itu dha’if, maka dapat dinyatakan bahwa: (1) terdapat banyak kisah tentang beberapa sahabat melakukan hal tersebut yang dapat dibaca dalam kitab-kitab mu’tamad dan hal tersebut telah menjadi kabar masyhur; (2) apa yang dilakukan oleh sahabat-sahabat tersebut tidak dicela, disalahkan oleh sesama sahabat apalagi oleh generasi setelahnya. Bila apa yang dilakukakn Ummu Salamah ra sebagai isteri Nabi suci saw, Asma binti Abi Bakar tersebut dan beberapa sahabat lainnya dinilai keliru, mengapa sahabat-sahabat lain yang masih hidup tidak menegur ?, bila ngalap berkah sebagai wasilah benar-benar telah menyalahi syari’at Islam ?

 2,472 total views,  4 views today

Posted in Opini.