Perkembangan Dunia Informasi
Pelbagai pemberitaan yang memuat segala informasi di masa ini memang sudah tidak bisa dinafikan. Lingkup problematika ini tidak bisa dipungkiri keberadaannya, terhitung sejak ledakan teknologi yang semakin berkembang dari masa ke masa. Informasi yang semula dinikmati melalui media-media yang sangat terbatas, yang tidak bisa sembarang orang bisa mengaksesnya, bergeser menjadi siapapun bisa mengkonsumsinya tanpa batas ruang dan waktu.
Meminjam pernyataan Marshall McLuhann bahwa teknologi (misal internet) yang semula digunakan untuk dunia peperangan, di masa kemajuan sudah bisa dinikmati oleh semua kalangan tanpa ada delik keperluan tertentu. Ia menyatakan bahwa perkembangan teknologi seperti televisi sudah membawa dunia lebih dekat dan menciptakan sebuah “Desa Global” atau “Global Village”.
Bentuk-bentuk kemajuan ini pada awalnya membawa pengaruh berupa gaya hidup yang lebih modernis. Produk yang dibawanya masih berupa simbol-simbol, gaya, musik dan tentunya informasi. Namun objek tersebut memang menapaki masa-masa yang sulit karena tidak bisa direngkuh oleh banyak orang. Tetapi dampak dari fenomena tersebut menurut Kevin O’Donnell dapat menciptakan masyarakat yang bergerak cepat, berlapis dan mempunyai banyak kepentingan.
Yang menjadi titik berangkat dari suatu permasalahan yang ingin penulis angkat adalah media yang kini menjadi “pasar ideologi bebas”. Media yang di masa ini dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak, memungkinkan terjadinya jual-beli pemahaman yang beragam, yangmana kita sebagai konsumen informasi tidak mengenal pihak tersebut secara menyeluruh. Dampak yang sangat berbahaya dari ekstrimnya suatu pemahaman yang dikonsumsi masyarakat adalah hilangnya peradaban lokal dan kultural.
Mubham-nya Pihak-pihak Penyampai Informasi
Suatu informasi yang selama ini dapat diakses oleh pelbagai pihak, tentu telah melewati rute publikasi yang panjang. Dapat dibayangkan bagaimana suatu sumber berita yang disajikan banyak laman di internet, menjadi konsumsi publik yang masif dan berkelanjutan. Menurut data yang dimuat oleh CNBC Indonesia, bahwa pengguna jasa internet oleh masyarakat kita sudah mencapai angka 171,17 juta jiwa di tahun 2018. Angka ini setara dengan 64,8% dari total penduduk Indonesia, yaitu 264,16 juta jiwa.
Ragam informasi yang kita konsumsi, sejatinya sangat mungkin sudah mengalami momen re-modify oleh oknum-oknum yang tidak bertanggunjawab. Hal ini tentu sangat berbahaya apabila merujuk pernyataan diatas, yakni adanya pasar ideologi yang bebas. Momentum perkembangan teknologi ini digunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, untuk membuat sebuhah opini publik. Memang tidak bisa dihindari adanya penyebaran suatu opini atau pemahaman tersebut, namun sangat disayangkan apabila muatannya hanya ujaran kebencian dan konstruksi opini yang negatif. Oknum yang tidak bertanggungjawab inilah yang kemudian disebut oleh penulis sebagai periwayat informasi yang mubham.
Menurut para ulama hadis, mubham adalah istilah yang dipakai untuk menamai seorang periwayat yang tidak dikenal oleh ulama hadis. Periwayat yang dikatakan mubham, diasumsikan bahwa periwayatannya lemah. Hal ini dituturkan oleh Ibn Hajar al Asqalani (w. 852 H) dan Ali al Qariy (w. 1014 H) yang menempatkan mubham pada kategori ke-8 dari 10 tingkatan dalam sifat-sifat ketercelaan seorang periwayat dengan kategori al jahalah. (M. Syuhudi Ismail, 2014)
Permasalahannya adalah apabila periwayat tidak dikenal kepribadiannya dalam menyampaikan suatu berita (dalam hal ini hadis) oleh ulama hadis, apakah bisa dikatakan bahwa periwayatannya absah untuk diterima? Hal inilah yang selanjutnya dikatakan oleh para ulama hadis sebagai majhul ‘ain.
Refleksi terhadap Konteks Penyaluran Informasi
Kita menyadari bahwa berbagai macam informasi dapat kita konsumsi setiap waktu dan dimanapun berada. Namun selayaknya informasi tersebut harus diperhatikan asal-muasalnya dari sumber yang kredibel atau tidak.
Penulis banyak menjumpai berbagai fenomena dimana grup-grup diskusi maupun grup yang dibuat atas nama identitas tertentu, menjadi sasaran empuk untuk menyebarkan berbagai macam hal. Ini bisa kita temukan di grup media sosial dari masing-masing orang yang mempunyai gawai, mulai dari Whatsapp, Telegram dan sebagainya. Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak orang yang menyampaikan suatu informasi (apalagi yang bermuatan dengan problem religiusitas dan khilafiyah) dengan mudah, padahal hal itu apabila tidak dikontrol dengan pasti akan membawa dampak negatif yang berkelanjutan.
Banyak kita jumpai, berbagai pihak yang menyandarkan hipotesa maupun fatwanya terhadap informasi yang disebar di media-media sosial tersebut. Dan pernyataannya tersebut disampaikan kembali di majlis-majlis keagamaan. Tentu problematika semacam ini sangat miris apabila diperhatikan secara serius. Informasi yang mulanya tidak diketahui sumbernya dari mana (dalam hal ini mubham), atau bahkan sumber yang tidak dikenal kredibilitasnya sebagai seorang praktisi agama atau sebagainya (dalam hal ini majhul ‘ain), dijadikan pijakan dalam menyampaikan dalil-dalil keagamaan.
Akhirnya menurut penulis, sikap kritis terhadap suatu informasi pun vital untuk dilakukan, karena hal tersebut akan membawa pada sikap selektif terhadap suatu hal. Apabila suatu informasi (dalam hal ini pemahaman) menyimpang dari ketentuan norma yang telah ada, maka selayaknya kita dapat melihatnya secara komperehensif, bukan malah mengkonsumsinya dengan mentah-mentah.
1,912 total views, 2 views today
Sebagai sebuah ijthad dalam rangka mengembangkan kajian Studi Hadis di Indonesia dibentuklah sebuah perkumpulan yang dinamakan dengan Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia (ASILHA). Sebagai sebuah perkumpulan ASILHA menghimpun beragam pemerhati hadis di Indonesia. Himpunan ini terdiri atas akademisi dan praktisi hadis di Indonesia dengan memiliki tujuan yang sama.