Menjadi Dekat dengan Mentoring

Kegiatan mentoring lebih mahsyur di kalangan siswa sekolah-sekolah umum dan lebih terorganisir dalam organisasi rohani Islam yang umumnya ada disana. Rohani Islam biasanya menjadi salah satu bidang dalam struktur Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) atau biasanya organisasi itu termasuk ke dalam salah satu pilihan ekstrakurikuler.

Mentoring menjadi program unggulan dari Rohani Islam dengan cara membentuk kelompok-kelompok kecil pada setiap jenjang kelas. Setiap kelompok biasanya terdiri dari 7-10 orang yang diampu oleh satu orang kakak kelas, yang disebut murrobi/ah. Mentoring memiliki misi untuk meningkatkan keimanan dan menyebarkan dakwah Islam secara hati ke hati. Pendekatan yang dilakukan para murrobi/ah di setiap pertemuan (liqo’) dengan membawa makanan atau hadiah.

Para murrobi/ah ini selalu memberikan motivasi dan kata-kata mutiara yang dapat mengetuk pintu hati para anggotanya sehingga tetap berpegang teguh pada prinsip Islam dan iman. Mereka juga memiliki program untuk mengontrol mutaba’ah yakni catatan ibadah para anggota. Hal ini membuat para anggota terpacu untuk selalu konsisten dalam menjalankan ibadahnya.

Para peserta yang mengikuti kegiatan ini biasanya memiliki kepribadian Islam yang kuat dan selalu semangat untuk beribadah. Salah satu peserta mentoring, Karin (SMAN 14 Jakarta)  mengatakan, “mentoring bagi aku adalah suatu kegiatan positif yang di dalamnya bisa meningkatkan kualitas iman dan menumbuhkan giroh. Ini udah mewakili semuanya.”

Hanifah (SMAN 14 Jakarta) mengatakan, “mentoring itu kumpulan orang-orang yang berkumpul untuk belajar dan mengingatkan satu sama lain. Bukan hanya mentee yang mendapatkan ilmu dari murrobi’ah, namun sebaliknya juga. Biasanya jadi tempat cerita dan curhat.”

Kegiatan mentoring adalah suatu kegiatan positif yang dapat mengenalkan Islam dan menjadikan orang-orang di dalamnya selalu konsisten dalam menjalankan amal kebaikan. Berdasarkan pengalaman penulis dan teman-teman yang pernah mengikuti mentoring dan menjadi murrobi/ah, ada hal-hal yang kurang tepat pada praktik kegiatan tersebut.

Di antaranya adalah para murrobi/ah yang masih duduk di kelas XII dan tidak semuanya memiliki kapabilitas pengetahuan Islam yang baik. Bahkan tidak jarang yang ditunjuk sebagai murrobi/ah karena faktor keterpaksaan. Hal itu disebabkan jumlah siswa yang akhlak dan pengetahuan Islamnya dianggap baik tidaklah banyak.

Kegiatan mentoring umumnya dikaderisasi oleh para alumni sekolahnya. Para alumni ini sebagian besar masih seorang mahasiswa. Para alumni biasanya mengumpulkan para murrobi/ah yang masih duduk di kelas XII itu sebulan sekali untuk melakukan evaluasi kegiatan. Meskipun para alumni ini dianggap telah memiliki pengetahuan yang lebih baik daripada murrobi/ah, sejatinya mereka pun tidak memiliki kapabilitas pengetahuan Islam yang baik juga.

Setelah ditelusuri, kegiatan ini tidak memiliki sumber rujukan yang mumpuni dalam memberikan pengetahuan Islam karena sebenarnya konsep awalnya adalah memberikan semangat beribadah dan meningkatkan keimanan melalui pendekatan hati ke hati. Saat ditanyakan ke beberapa narasumber tentang sumber rujukan apa yang digunakan dalam menyampaikan dakwah. Salah satu narasumber menjawab, “sumbernya macam-macam. Ada yang dari Google, buku, kajian-kajian ustaz di Youtube, biasanya Ustaz Abdul Somad, Ustaz Adi Hidayat, dan Ustaz Hanan Attaki.

Saat kegiatan ini bertujuan untuk memberikan semangat ibadah, kegiatan ini sangat baik karena keimanan manusia tidak pernah ada yang stabil sehingga memerlukan adanya penyemangat. Tetapi dalam menyampaikan dakwah yang bermaksud memberikan semangat itu, tidak mungkin tidak ada pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan dari para anggotanya mengenai tauhid, fiqh, dan akhlak secara mendalam.

Pernah suatu ketika seorang anggota mentoring menanyakan mengenai apa bedanya Tuhan dengan Allah, dan juga asal usul doa Qunut apa. Namun, para murrobi/ah sebagian besar bingung menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu karena memang mereka tidak tahu.

Mereka berdakwah berlandaskan pada dalil sebuah hadis berikut.

حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ أَخْبَرَنَا الْأَوْزَاعِيُّ حَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي كَبْشَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

“…Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka”. (HR. Bukhari: 3202)

Hadis itu menjelaskan bahwa sedikitnya ilmu yang kita miliki perlu disampaikan. Dalam konteks hadis tersebut, menyampaikan satu ayat atau sebuah kebenaran pada orang-orang yang memang belum mengetahui Islam. Namun, dalam hal penyampaian sebuah ilmu perlu adanya kriteria orang yang mumpuni dalam menyampaikan hal tersebut.

Tidak mungkin seorang yang tidak pernah mengaji sebelumnya, kemudian baru mengaji selama 2 hari, ia langsung menyampaikan dakwah. Padahal banyak hal yang belum ia ketahui.

Dalam kitab Ta’lim Muta’alim, seorang guru memiliki kriteria yakni seorang yang memiliki wibawa, sabar, orang yang lebih tua, dan memiliki pengetahuan yang mumpuni.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya. (QS. Al-Isra’ : 36)

Jika seseorang menyampaikan suatu ilmu apalagi ilmu agama perlulah berhati-hati karena semua itu akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Apabila satu kebenaran yang kita sampaikan, kemudian hal itu dikerjakan terus menerus oleh orang banyak, itu akan menjadi pahala jariyah bagi kita. Sebaliknya, jika satu kesalahan yang kita sampaikan, dan jika itu dikerjakan secara terus menerus oleh orang banyak, maka hal itu akan menjadi dosa jariyah bagi kita.

Kegiatan mentoring ini pada dasarnya adalah sebuah kegiatan yang baik yang dapat menumbuhkan semangat ibadah. Tetapi menjadi salah jika dalam hal menyampaikan materi-materi keislaman seperti tauhid, fiqh, dan akhlak tanpa adanya sumber rujukan yang jelas dan terpercaya.

Apabila kegiatan ini hanya mencari sumber rujukan di internet atau Youtube, bukan sebuah kesalahan. Tetapi para murrobi/ah ini tidak berhak menyampaikan hal-hal yang menyangkut hukum atau tafsir suatu dalil, bahkan penjelasan mengenai Allah swt.

Sejauh dari pengamatan penulis, dakwah-dakwah yang disampaikan oleh para murrobi/ah ini membentuk karakter para anggotanya menjadi Islam yang kaku dan saklek. Maka, para siswa sekolah umum biasanya terlihat lebih “alim” daripada para santri pesantren dari penampilan juga cara mereka bersikap. Akhirnya mereka mengenal Islam lebih dekat tetapi menjadi tidak dekat dengan masyarakat karena sikapnya yang keras. Wallahu a’lam.

Fitria Susan Meliyana

Prodi Ilmu Hadis UIN Sunan Kalijaga

 9,150 total views,  6 views today

Posted in Opini.