Value Kritis; Konstruk Awal Filsafat Ilmu Hadis

Oleh: Dr. Jafar Assagaf, MA
(dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; Anggota Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia)
email: jafar.assagaf@uin-suka.ac.id

Sebagai sebuah bangunan ilmu dalam kategori science, ilmu hadis nyaris sempurna bila dilihat pada bagian-bagian dan topiknya yang ada sejak awal proses perjalanannya yang sangat panjang sampai masa kini. Ilmu yang terbilang rinci dengan aneka uraian dan bagiannya dalam menelusuri teks dan konteks yang ada dalam hadis, keterlibatan perawi dan hal ihwal mereka sampai pada metode dan proses periwayatan (tahammul wa al-‘ada) menunjukkan akan ‘kemapanan’ ilmu ini. Penilaian sebagian ulama yang terungkap dalam pernyataan al-Zarkasyi (w. 794 H) bahwa kajian ilmu hadis termasuk ilmu yang telah matang dan terbakar (علم ‌نضج واحترق). Tak bisa dipungkiri bila dilihat dari aspek kerinciannya dan ketersebarannya serta diskursus yang ada di kalangan ulama bahkan sampai ke masyarakat awam. Kematangan ilmu hadis sebab ketiga bagian utama di atas yaitu studi matan, sanad dan proses periwayatan selain berkesinambungan dari abad ke abad juga ikut memantik pemerhati hadis untuk terus melakukan interpretasi (syarh), revitalisasi dan kontekstualisasi terhadap ilmu hadis.

Di balik kematangannya, ilmu hadis menyimpan bagian yang belum tersentuh secara mendasar yaitu akar pijakan ilmu tersebut dan ketersambungannya dengan induk dari segala pengetahuan yaitu filsafat sebagaimana pernyataan Tulius Cicero (106-43 SM) (Liang Gie 2012). Jika adagium tentang filsafat tersebut disepakati, maka ilmu hadis sebagai science tentu dan seharusnya memiliki dua hal tersebut. Sebab pada dasarnya setiap ilmu termasuk ilmu hadis dibangun dengan teori, metode dari sebuah proses penyusunan yang sistematis berdasarkan data empiris maupun rasionalisasi pemikiran tentang isi dan materi ilmu itu.

Dewasa kini hampir semua ilmu telah memiliki akar berdasarkan filsafatnya. Ditemukan cukup banyak tulisan tentang filsafat Islam, filsafat hukum Islam, filsafat Pendidikan Islam dan lainnya, namun studi khusus filsafat tentang ilmu hadis terasa masih diabaikan. Kajian ini akan berusaha mencari akar dan mengkonstruksi filsafat yang menjadi pijakan ilmu hadis. Alasannya, ilmu hadis termasuk ilmu yang cukup tua dilihat dari aspek historis maupun tahapan-tahapan bangunan ilmunya dan teristimewa embrio kemunculannya justeru berpijak dan ciri serta value filsafat itu sendiri yaitu kritis terhadap hal-hal yang ada. Historiografi hadis awal menginformasikan sejak zaman Nabi suci Muhammad saw dan sahabat terjadi dialog dan diskursus yang menunjukkan sikap kritis adalah value dalam memahami dan menelaah suatu pernyataan maupun statmen.

Embrio pemikiran kritis terhadap hadis lahir di masa Nabi suci saw masih hidup dalam bentuk pemahaman yang berbeda dari teks hadis seperti perintah agar sahabat tidak salat Ashar kecuali sudah tiba di bani Quraizhah tahun 5 H (al-Bukhari, 1994). Namun sebelum mereka sampai di tempat tersebut, waktu Ashar hampir selesai. Meski sebagian memahami secara tekstual apa adanya, namun sebagian dari sahabat memahami bahwa perintah tersebut bukan berarti keharusan shalat di sana, akan tetap bersegera supaya mereka mendapati waktu ashar di bani Quraizhah sehingga mereka bisa mendirikan shalat di tempat tersebut (al-‘Asqalani, 2000).  Interpretasi demikian bisa muncul disebabkan sikap kritis terhadap perintah Nabi suci dan kondisi saat itu dalam situasi pasca perang.

Sikap kritis lainnya terhadap perintah Nabi suci saw ketika posisi pasukan Muslim ditentukan di medan perang Badar (2 H), namun sahabat Hubab bin al-Mundzir (wafat di masa Umar bin Khattab menjadi khalifah) mengoreksi kebijakan Nabi suci saw berdasar pengalaman empiris bersifat alami dan startegis, kalau sumur merupakan sumber utama saat melakukan perang di wilayah Badar, dan usulan itupun diterima. Sebaliknya sikap kritis terhadap perintah Nabi suci saw agar sahabat memberikan tinta dan kertas kepadanya ketika sang Nabi suci saw mendekati ajalnya, namun polemik justeru terjadi di antara sahabat mengakitbatkan Nabi suci saw tidak jadi menulis pesannya (al-Bukhari, 1994). Konteks ini menujukkan sikap kritis sebagian sahabat justeru terjadi saat kondisi Nabi suci saw saat itu sedang sakit yang membawa ajalnya. Tiga peristiwa tersebut bagian dari contoh sikap kritis sahabat terhadap konten hadis atau di kemudian hari disebut dengan matan. Kritis terhadap apa yang dimaksud dan bagaimana keadaan teks matan tersebut dipahami dan dioperasionalkan; diamalkan.

Pasca Nabi suci saw, sikap kritis dalam memahami matan berlanjut namun lebih bertkembang. Tidak hanya pada interpretasi terhadap matan namun juga kekeliruan dalam memahami maupun menyampaikan hadis. Kritik Aisyah ra (w. 57 H) kepada Umar (w. 23 H) dan Ibn ‘Umar (w. 74 H) tentang mayit disiksa lantaran tangisan keluarganya serta kritikan kepada Abu Hurairah (w. 58 H) yang keliru memahami batal tidaknya puasa orang yang masih dalam keadaan junub di waktu datangnya waktu subuh menjadi point penting bagaimana sahabat bersikap kritis terhadap sesama mereka  dalam memaknai dan memahami teks hadis.

Di masa sahabat, Umar mendemonstrasikan sikap kritis dengan cara memahami terbalik dari hadis-hadis tertentu dengan alasan spesifik misalnya hadis tentang talak 3, had bagi peminum khamar dan lainnya. Dapat dinyatakan pada masa sahabat, mereka mengktritisi matan; baik saat memahami maupun merealisasiakannya bisa terjadi disebabkan apa yang sudah ada sebelumnya dan tujuan kemaslahatan.

Terhadap pembawa berita, sikap kritis tersebut nampak saat Abu Bakar (w. 13 H) bertanya kepada sahabat lainnya tentang pengakuan seorang nenek bahwa ia memperoleh 1/6 warisan dari cucunya, dan kebjikan di masa dua khalifah pertama taqlil al-riwayah, meskipun sikap kritis di dua kejadian dimaksud menurut klaim ulama hadis lebih diperuntukkan untuk memperoleh keterangan lain, dan bukan meragukan pembawa berita, akan tetapi pada prinsipnya menunjukkan sikap kritis terhadap pembawa berita/hadis.

 165 total views,  4 views today

Posted in Kajian.