Mungkinkah Pemahaman Hadis tanpa Perspektif Sosiologis?

Nahla Thalia Hasanah Ilmu Hadis
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

Sebagai sumber utama hukum dan ajaran Islam setelah al-Qur’an, hadis merupakan kiblat besar memahami hukum islam, menjawab pertanyaan tentang ajaran-ajaran dalam islam, menjadi solusi perkara-perkara seputar ajaran islam, dan juga menjadi dalih terhadap persoalan-persoalan yang dapat kita temukan setiap harinya.

Dengan posisi hadis yang tinggi dalam islam, memahami hadis merupakan perkara penting dalam menjadi bagian seorang muslim. Namun sebagai manusia, individual dalam masyarakat, tentunya persoalan dalam hidup kita tidak melulu soal agama saja. Aspek sosiologis dalam kehidupan juga merupakan aspek utama disamping aspek keagamaan. Oleh karena itu agama juga menaruh perhatian besar terhadap masalah sosial. Terbukti dengan banyaknya pembahasan masalah sosial (muamalah) dalam al-Qur’an juga hadis.

Mulanya pada masa klasik, ilmu hadis sulit dipisahkan dengan ilmu fiqh. Pada masa tersebut, seorang ahli hadis pasti juga ahli fiqh dan sebaliknya, hal ini karena pada masa itu memang ilmu Fiqh berada pada puncak kejayaannya. Namun hal ini mendukung pernyataan bahwa hadis juga menaruh perhatian besar terhadap aspek sosiologis, karena keterkaitannya yang erat dengan ilmu fiqh, sedangkan ilmu fiqh memegang posisi penting mengenai pembahasannya terhadap masalah sosial atau lebih dikenal dengan muamalah.

Berbicara tentang aspek sosiologis, menurut Henri L. Tischler (1990), “Agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu”. Mengenai pandangan Tischler ini dapat diambil arti bahwa agama memengaruhi masyarakat. Aspek sosial masyarakat yang dibungkus oleh naluri agama mempengaruhi sosialisasi masyarakat.

Kembali kepada hadis, bagaimana jadinya jika kita mencoba memahami hadis tanpa perspektif sosiologis? Kita ambil salah satu contoh hadis tentang berbagi kepada tetangga:

إِذَا طَبَخْتَ مَرَقًا فَأَكْثِرْ مَاءَهُ ، ثُمَّ انْظُرْ أَهْلَ بَيْتٍ مِنْ جِيْرَانِكَ فَأَصِبْهُمْ مِنْهَا بِمَعْرُوْفٍ

Artinya: “Jika engkau memasak sayur, perbanyaklah kuahnya. Lalu lihatlah keluarga tetanggamu, berikanlah sebagiannya kepada mereka dengan cara yang baik.” (HR. Muslim )

Dan hadis berikut:

Dalam memberi Batasan tetangga, sebagaimana diriwayatkan oleh az-Zuhri ,”ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah SAW dan mengadukan tetangganya, kemudian Rasulullah SAW memerintahkan lelaki tersebut untuk berteriak di depan pintu masjid,

“Ingatlah 40 rumah itu masih tetangga”. Dijelaskan oleh Az-Zuhri bahwa 40 rumah itu adalah 40 rumah ke arah sana, 40 rumah ke arah sana, 40 rumah ke arah sana dan 40 rumah ke arah sana kata Rasulullah sambal menunjuk ke empat arah mata angin”

Jika kita lihat 40 jarak rumah dari rumah kita berarti berjarak sangat jauh. Mari dilihat dari segi historis pada zaman Rasulullah dulu, bentuk rumah yang dalam kawasan perumahannya berpetak-petak dan jarak antar satu rumah dan rumah lainnya berdekatan. Sedangkan pada zaman sekarang tentunya jarak 40 rumah dari rumah kita bahkan bisa mencapai berkilo-kilo meter dihitung dari dibatasinya oleh bangunan-bangunan lainnya selain rumah juga luasnya jalan-jalan. Namun terlepas dari masa manapun, jarak 40 rumah tetaplah terhitung jauh, meskipun jarak antara 1 rumah hingga deretan 40 rumah selanjutnya berhimpitan. Sehingga jika kita menghubungkan antara 2 hadis diatas tersebut maka membagikan makanan kepada “tetangga” hampir mustahil kecuali jika kita sedang merayakan acara atau hal-hal serupa lainnya.

Dari sini, dapat dilihat bahwa memahami hadis ini tanpa memperhatikan aspek sosiologis merupakan perhitungan yang keliru. Jika ditanya apakah kita masih mengenal jangankan tetangga dalam radius 40 rumah dari rumah kita, jarak 10 rumah saja belum tentu kita kenal dan belum tentu pernah bersosialisasi dengan kita sehinga dapat dikatakan bahwa kita belum pernah mempunyai interaksi sosiologis dengan “tetangga” kita. Selain itu mustahil bagi tetangga kita dengan radius jarak sedemikian jauhnya untuk mencium bau masakan dapur kita. Karena itu dengan memperhatikan aspek sosial, maka hadis sebelumnya tidak berlaku kepada “tetangga” kita.

Sementara itu, dalam meneliti asbabul wurud suatu hadis bagaimana mungkin menelitinya tanpa memperhatikan perspektif sosiologisnya. Asbabul wurud hadis sangat terikat bahkan tak bisa dipisahkan oleh aspek sosiologis. Jawaban-jawaban dari latar belakang turunnya sebuah hadis tentunya sangat dipengaruhi oleh aspek tersebut. Selain itu, dalam meneliti sebuah hadis, melalui perspektif sosiologis dapat diketahui informasi tentang rawi hadis tersebut yang dimana rawi merupakan bagian penting dalam sebuah hadis untuk menentukan shahih, hasan, atau dhaifnya hadis tersebut sehingga dapat dilihat apakah  hadis tersebut bisa digunakan sebagai dalil terhadap persoalan-persoalan yang ada.

Nabi secara individu merupakan bagian dari masyarakat pada zamannya, sehingga interaksi individual maupun sosial nabi antar sesama masyarakat merupakan bagian penting yang mempengaruhi diturunkan suatu hadis atau hadis itu sendiri. Dalam melihat perspektif sosiologis dalam sebuah hadis, terdapat 2 konsen yang diperhatikan: Memahami lingkup sosial hadis pada masa lampaunya (atau masa diturunkannya) dan bagaimana pengaplikasian hadis tersebut pada masa kini. Hal ini berarti memperhatikan sisi historis hadis tersebut. Perkembangan zaman yang berubah memengaruhi aspek kultur sosial masyarakat juga sehingga banyak tradisi masyarakat yang secara tidak sadar terbuang, secara natural mengikuti proses perkembangan zaman. Dari sinilah alasan mengapa ada sebagian hadis yang tidak lagi relevan digunakan di masa kini karena perubahan sosial, budaya, serta keadaan masyarakat secara menyeluruh yang ikut berubah.

 1,530 total views,  6 views today

Posted in Opini.