Muhamad Nurul Pahmi Attaptazani
19105050088@student.uin-suka.ac.id
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sebagai sumber hukum islam, al-Qur’an dan Hadis tentu telah berbicara Panjang lebar mengenai riya’ dan sum’ah ini. Al-Qur’an sendiri melalui Q.S al-Baqarah ayat 264 mencela perbuatan riya’ sedangkan ketika mengetik kata رِيَاءً dalam Maktabah Syamilah setidaknya penulis mendapati 22 hadis dalam Kitabu sittah yang secara eksplisit berbicara tentang riya’, salah satunya hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud:
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: ” الْغَزْوُ غَزْوَانِ: فَأَمَّا مَنْ ابْتَغَى وَجْهَ اللَّهِ، وَأَطَاعَ الْإِمَامَ، وَأَنْفَقَ الْكَرِيمَةَ، وَيَاسَرَ الشَّرِيكَ، وَاجْتَنَبَ الْفَسَادَ، فَإِنَّ نَوْمَهُ وَنُبْهَهُ أَجْرٌ كُلُّهُ، وَأَمَّا مَنْ غَزَا فَخْرًا وَرِيَاءً وَسُمْعَةً، وَعَصَى الْإِمَامَ، وَأَفْسَدَ فِي الْأَرْضِ، فَإِنَّهُ لَمْ يَرْجِعْ بِالْكَفَافِ
Dari Mu’adz bin Jabal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda: “Berperang itu ada dua kedaan, pertama, orang yang mengharapkan wajah Allah, mentaati pemimpin, menginfakkan barang berharga, dan bergaul dengan sekutunya dengan mudah, serta menjauhi kerusakan maka tidurnya dan terjaganya adalah pahala semua. Adapun orang yang berperang karena berbangga diri, riya’ (ingin dilihat) dan sum’ah (didengar orang), durhaka kepada pemimpin serta membuat kerusakan, maka ia tidak kembali dengan membawa manfaat.” (H.R. Abu Daud 2154)
Walaupun hadis ini dalam kitab Sunan Abu Daud temasuk kedalam katagori bab perang dan pengharapan dunia tetapi esensi dari nilai kandungan yang terdapat dalam hadis tersebut menjelaskan kesiasiaan seseorang yang berperang karna -salah satunya- riya’ dan sum’ah, maka ia tidak akan membawa manfaat apapun begitu juga segala amal ibadah kita apabila didasari dengan riya’/sum’ah maka kita tidak akan mendapatkan pahala apapun.
Riya’ dan Sum’ah merupakan kata dalam khazanah Bahasa Arab yang jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berarti pamer. Perbedaan dari Riya’ dan Sum’ah sebagaimana dikatakan dalam kitab Syarah Sunan Abu Daud yang ditulis oleh Ibnu Ruslan terletak pada perilaku pamer itu sendiri, jika Riya’ cenderung pamer dalam hal sikap dan perbuatan, sedangkan sum’ah lebih kepada pamer dalam wujud perkataaan. Kemudian jika kita menelisik lebih mendalam, perilaku pamer diartikan sebagai ekspresi untuk mendapat pengakuan baik dalam bentuk pujian ataupun status sosial tertentu dari orang lain. Ini erat kaitanya dengan eksistensialisme.
Pada tulisan kali ini saya coba mencari titik temu antara praktik riya’/pamer dengan teori Symbolic violence. Pierre Bourdieu sang pemilik teori Symbolic Violence ini merupakan seorang filsuf, sosiolog dan antropolog kelahiran 1 Agustus 1930 di Prancis. Karyanya yang paling fenomenal adalah distinction, a sosial critique of the judgement of taste, pemikiran dia juga dipengaruhi oleh Hussrel, Marx, Weber, Durkheim, sampai dengan Jean-Paul Sartre.
Symbolic Violence (kekerasan simbolik) merupakan bahasan dalam bukunya yang berjudul La domination masculine. Buku ini membahas bagaimana praktik dominasi laki-laki terhadap perempuan, dan dominasi ini disebut oleh Bourdieu sebagai kekerasan yang tak kasat mata melalui peranan simbol, baik itu berupa gambar, teks, foto ataupun yang lainya. Walaupun dalam tulisanya Bourdieu secara bergantian menggunakan istilah symbolic violence symbolic power dan symbolic dominace tetapi tetap merujuk hal yang sama.
Sebelum jauh membahas symbol violence kita perlu sedikit memahami habitus, arena kapital (modal), dan juga distinction karna hal ini yang kemudian menjadi cikal bakal terjadinya symbolic violence. Sederhanya habitus adalah kebiasaan yang terbentuk secara eksklusif oleh sesuatu di luar diri kita/sisi eksternal kita, interaksi ini yang kemudian membentuk kepribadian diri seseorang. Kemudian arena/field sebagaimana dikatakan Bourdieu ialah ranah atau ruang khusus yang terdapat dalam masyarakat. Bourdieu juga menyebut ini sebagai field of battel dimana pertarungan kapital antara individu untuk mendapat pengakuan atau menguasai satu sama lain. sedangkan kapital diartikan modal untuk yang digunakan untuk menunjang kepentingan individu dan modal yang paling besar salah satunya adalah modal simbolik.
Bourdieu kemudian mencetuskan teori yang disebut distinction atau dalam Bahasa Indonesia berarti perbedaan. Perbedaan yang dimaksud Bourdieu adalah perbedaan kelas sosial. Hal inilah yang kemudian melandasi terjadinya symbolic violence yang dilakukan tidak sadar atau tak kasat mata sebagaimana disebut sebelumnya. Dalam hubungannya penulis melihat perilaku riya’ atau pamer sebagai suatu bentuk symbolic violence.
Perilaku pamer biasanya dilakukan oleh masyarakat yang memiliki tingkatan status sosial yang lebih tinggi dibandingkan yang lainya. Erat kaitanya orang yang memiliki kapital/modal lebih tinggi juga didukung oleh habitus yang telah terbentuk akan cenderung melakukan pembedaan (distinction) dengan modal yang ia miliki dan modal yang paling kuat ialah simbol. Contoh sederhanya seperti ini: Ani merupakan seseorang yang terlahir dari keluarga muslim yang kaya raya (habitus) kemudian setiap datangnya idul fitri, ani melakukan sedekah kepada gelandangan yang ada di jalanan dengan nominal perorang 100.000, angka tersebut tidak sebanding dengan jumlah kekayaan keluarga ani (kapital). Karna aktif di media sosial maka ani mengunggah aktivitas sedekahnya tersebut, hal ini dimaksudkan untuk mendapat Attention dari followers ani yang notabene berasal dari starta sosial menengah ke bawah (arena)
Dalam cerita tersebut ani melakukan riya’ -yang dalam hal ini berbentuk sedekah- kemudian dalam tinjauan teori Bourdieu, ani juga melakukan tindakan symbolic violence karna secara tidak sadar ani menggunakan instrument simbolik (gambar/video kegiatan dia bersedekah) untuk meningkatkan starta sosial dia, padahal di sisi lain banyak followers ani yang jangankan untuk bersedekah, untuk makan sehari hari saja kurang.
Penulis sampai pada kesimpulan bahwa riya’ dalam praktiknya akan mengugurkan pahala yang didapat karna beribadah tidak semata karna Allah swt. juga disamping itu praktik riya’ mengandung unsur kekerasan simbolik (symbolic violence). Karenanya semoga ibadah kita baik mahdoh dan ghoiru mahdoh hanya semata karna Allah swt. bukan untuk eksistensi ataupun mendapat pengakuan dari orang lain, agar pahala dari apa yang kita kerjakan mampu membawa kita kepada ridho-NYA. Waallahu a’lam bishawab
11,765 total views, 4 views today

Sebagai sebuah ijthad dalam rangka mengembangkan kajian Studi Hadis di Indonesia dibentuklah sebuah perkumpulan yang dinamakan dengan Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia (ASILHA). Sebagai sebuah perkumpulan ASILHA menghimpun beragam pemerhati hadis di Indonesia. Himpunan ini terdiri atas akademisi dan praktisi hadis di Indonesia dengan memiliki tujuan yang sama.