Tradisi Menyambut Ramadhan di Tengah Pandemi Covid-19 di Merangin Jambi

Oleh Wanda Rizki al-Kanra

Pandemi covid 19 menjadi momok yang menakutkan di seluruh dunia tanpa terkecuali Indonesia. Bahkan pemerintah Indonesia pun telah mengambil kebijakan-kebijakan terkait masalah covid 19 ini seperti lockdown, karantina, social distancing dan lain sebagainya.
Tetapi hal tersebut tidak membuat masyarakat di negeri Sembilan khususnya di Desa Sungai Nilau Kec. Sungai Manau Kab. Merangin Prov. Jambi untuk mempertahankan tradisi menyambut bulan suci Ramadhan setiap tahunnya.

Tradisi tersebut adalah Mantai Kerbau. Istilah
Mantai menurut dialeg Negeri Sembilan (Jambi) ialah membantai. Pelaksanaan tradisi tersebut sudah dilakukan sejak nenek moyang mereka dahulu di mana masyarakat bergotong-royong menyembelih kerbau dan kemudian melelang dangingnya.
Sebuah tradisi yang kerap dilakukan dua sampai lima hari sebelum puasa ini biasanya setiap desa akan memantai lima sampai tujuh ekor kerbau.

Mereka melakukan mantai dalam suatu lapangan berumput dekat sungai dan berkumpul di sana.
Di Desa Sungai Nilau sendiri mantai biasanya dipimpin oleh ketua dari setiap kelompok-kelompok adat yang di sebut sekelbu.

Sekelbu ini merupakan pembagian kelompok berdasarkan garis keturunan dari pihak keluarga wanita dan sudah berlaku sejak zaman nenek moyang dahulu. Di desa ini sendiri, terdapat tujuh Sekelbu diantaranya : PENGULU SULTAN, GUNUNG SANGGU, KILEK PATI, KAMPUNG SATI, GEMUYANG, MANTI PENGULU DAN LELO MANGUN. Tujuh kelompok tersebut dipimpin oleh tertua adat yang disebut sebagai nenek mamak.
jika terjadi permasalahan di salah satu anggota sekelbu maka sekelbu yang lain tidak boleh ikut campur dalam sekelbu yang bermasalah, kecuali dari pihat nenek mamak pimpinan sekelbu yang bermasalah mengajak nenek mamak dari sekelbu lain untuk membantu memecahkan masalah dari sekelbu tersebut. Karna pada adatnya mencampuri urusan sekelbu lain merupakan tindakan yang salah. Hal ini sudah di sepakati oleh nenek moyang terdahulu.

Menurut adat lamo pusako usang. Setelah acara pembagian atau pelelangan daging kerbau hasil mantai, nenek mamak dari tiap-tiap sekelbu akan mendatangi rumah-rumah anggota sekelbunya dan berkata “ lah adu dapek danging, klo dak ko danging ha. (sudah dapat danging belum, kalo belum ini ada dangin)”.
Mantai sendiri menjadi acara wajib bagi masyarakat disana, bagi mereka tidak lengkap rasanya menyambut ramadhan jika tidak memantai dan merendang danging hasil mantai tersebut.

Acara mantai ini juga adalah salah satu aktivitas merapatkan tali kekeluargaan yang menjadi keutamaan dari masyarakat desa tersebut. Bahkan ada yang sanggup mengambil cuti tahunan semata-mata untuk pulang kampung bersama-sama keluarga pada momen mantai tersebut.

Salah satu tokoh desa setempat, Abd Rahman (72) mengatakan bahwa mantai dilakukan sebagai bentuk rasa syukur bagi seluruh warga dalam menyambut bulan Ramadhan.
“Tradisi ini sudah ada di desa kami dari saya masih kecil bahkan sudah ada sebelum merdeka. Alhamdulillah sampai saat ini masih di pertahankan, insyaallah bagaimanapun kondisi dan keadaannya mantai akan tetap dilaksanakan” Ujar beliau.
Ia juga mengatakan bahwa asal usul mantai ini karna orang-orang dahulu sangat sulit untuk mencari bahan pangan berupa daging.

“Mantai itu ada karna orang-orang terdahulu jarang makan daging, jadi timbul inisiatif dari beberapa nenek mamak pimpinan sekelbu untuk membuat acara yang meriah untuk menyambut bulan puasa, Ngak seperti zaman sekarang ada pasar tempat beli danging zaman dulu ngak ada,” Katanya bercerita.
Biasanya setelah penyembelihan kerbau, masyarakat disana mejual daging kerbaunya dengan sistem lelang. Setelah selesai proses pelelangan, hasil dari danging kerbau yang di beli juga tidak dimakan sendirian, mereka biasanya mengadakan acara meggang atau lebih dikenal sebagai syukuran dan doa bersama di setiap rumah, mereka mengajak para tetangga untuk makan bersama dari rumah ke rumah. Alhasil dalam sehari warga bisa makan sampai lima atau tujuah kali. Makan-makan dan doa bersama ini dilakukan disetiap rumah secara bergilir.

Pada momen mantai, setiap warga asyik menyaksikan keramain pada acara tersebut, dari berbagai kalangunpun juga menyaksikan baik dari ibu-ibu bapak-bapak anak-anak sampai yang sudah lanjut usia. Mereka sangat antusias menyaksikan tradisi tersebut walaupun ditengah maraknya virus corona ini.
Salah satu warga yang kami wawancarai masalah mantai yang dilakukan di tengah pandemi corona ini berkata “ mantai ini tradisi turun-temurun, kami berusaha untuk tidak meninggalkan tradisi ini, nenek moyang terdahulu aja ketika masih di jajah oleh belanda juga tetep melaksanakan mantai. Kami selalu menanti momen-momen seperti ini setiap tahunnya, ini sangat menyenangkan bagi kami.

Bahkan yang dari perantauan pun juga sering pulang untuk menikmatinya dan berkumpul dengan keluarga pada momen ini” . Khaidir tetuo adat dari sekelbu lelo mangun ketika di tanya masalah serupa beliau menjawab “kita semua sudah menyadari bahwa pada tahun ini tengah maraknya wabah virus corona, sebenarnya ini menjadi pertimbangan bagi kami selaku nenek mamak, bahkan awalnya kepala desa juga melarang untuk mengadakan mantai pada tahun ini, mengingat himbauan dari pemerintah untuk meninggalkan aktivitas di luar rumah apalagi berkumpul-kumpul seperti acara mantai ini, setelah melakukan musyawarah dari pemerintah desa dengan nenek mamak akhirnya kita memperbolehkan, disini kita melihat bahwa untuk saat ini wabah virus tersebut juga tidak masuk ke daerah kita, dan kita juga melarang bagi orang-orang yg baru pulang dari perantauan untuk mengikuti acara mantai kali ini, ya intinya kita hanya ingin menjaga tradisi kita supaya tidak hilang, ketika ditanyakan ke masyarakat mereka juga siap menerima resiko ketika diadakannya mantai ini, buktinya aja acara kita tahun ini masih serame tahun lalu”. Ujar beliau.

 2,630 total views,  2 views today

Posted in Opini.