Tempat Isolasi WNI dan Kontekstualisasi Hadis Pandemi Penyakit Tha’un dalam Maqashid al-Syari’ah

Tulisan kecil ini merupakan lanjutan tak sengaja dari tulisan sebelumnya tentang Refleksi Isolasi Penderita Corona dan Hadis Tersebarnya Penyakit Tha’un pada 31-01-2020, sekaligus menyikapi polemik tentang tempat dan fasilitas kesehatan bagi WNI yang berada di Natuna setelah dievakuasi dari Wuhan China.

Dalam tulisan sebelumnya disebutkan hadis Nabi suci saw tentang mengantisapasi tersebarnya wabah Tha’un sebagai pandemi ketika tahun 17-18 H/638-639 H yaitu wilayah yang terkena wabah tersebut terlarang bagi siapapun mendatanginya dan terlarang pula bagi siapapun untuk mendatangi tempat tersebut, demi memutus rantai penyebaran sebuah penyakit menular. Meski tindakan tersebut merupakan bentuk sad a-dzari’ah; preventif, namun belum memiliki solusi agar mereka yang berada di dalam kota yang terdapat penyakit menular bisa diselamatkan.

Upaya kontesktualisasi hadis al-Bukhari tersebut  telah dilakukan oleh Amr bin al-Ash (w. 43 H) yang saat tu memimpin kaum Muslim lalu membawa mereka di gunung-gunung atau daerah pegunungan. Melalui bantuan Allah, tindakan Amar tersebut secara faktual dapat mengurangi dan mensterilkan kaum Muslim dari wabah penyakit Tha’un tersebut (Ibn al-Atsir, II, 1979). Langkah Amar bin al-‘Ash yaitu mencari tempat yang jauh dari pemukiman penduduk sehingga dugaan mereka yang telah terinfeksi wabah Tha’un tidak menularkan pada yang lain dan bagi mereka yang belum terinfkesi dapat selamat ketimbang mereka harus berdiam diri di daerah Amwas tempat wabah Tha’un yang berada di negeri Syam (Suriah).

Langkah serupa telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia saat mengevakuasi WNI dari Wuhan dengan menempatkan mereka di Natuna di pangkalan militer ketimbang di dalam kota seperti di Jakarta. Polemik timbul di masyarakat, terutama masyarakat di Natuna. Kekhawatiran warga di sana lantaran takut jangan sampai di antara WNI tersebut ada yang positif mengidap virus corona sehingga dapat menyebabkan daerah tersebut mengalami wabah pandemi corona seperti dilansir dari berbagai media cetak maupun elektronik. Apa yang dilakukan oleh pemerintah sebenarnya sudah cukup baik, meski masih terdapat kritikan tentang jarak antara tempat WNI di Natuna dengan pemukiman penduduk serta fasilitas yang tersedia di tempat karantina mereka.

Dalam kajian ushul fiqh, Izz al-Diin Abd Salam (w. 660 H) memperkenalkan kaedah dar’u al-mafaasid wa jalb al-mashaalih (menolak kemudharatan/bahaya dan mendatangkan kemaslahatan) (Abd Salam, I, Cairo, 1991) yang dianggap sebagai kaedah pokok terkait maqasid al-syari’ah  (Umar bin Shaleh, Oman, 2003). Dalam maqashid al-syari’ah terdapat lima hal yang harus diselamatkan yaitu: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dari kelima hal tersebut, menjaga jiwa menjadi skala prioritas tertinggi bahkan dibandingkan dengan keselamatan agama dalam konteks tertentu seperti kisah Amr bin Yasir (w. 37 H).

Melalui analogi tindakan Amr bin Ash dalam upaya kontekstualisasi hadis tersebarnya penyakit Tha’un, langkah untuk menyelamatkan siapapun dari wabah yang menular atau mengisolasi siapapun yang diduga kuat mengidap salah satu penyakit menular maka jalan utamanya mencari tempat yang cocok dan tepat. Tentu tempat tersebut harus aman bagi orang lain ataupun lingkungan. Sebab, alih-alih mencari tempat tersebut justeru dapat menyebabkan munculnya kemudharatan yang lebih besar yang sesungguhnya ingin dihindari. Dengan demikian, keselamatan jiwa penduduk Natuna harus menjadi skala prioritas yang mirip bahkan sama dengan jiwa WNI yang di karantina melalui landasan kaedah al-dharar laa yuzzalu bi al-dharar bahwa kemudharatan itu tidak boleh dihilangkan/dibasmi dengan (munculnya) kemudharatan yang lain bagi masyarakat di Natuna.

Kemudharatan yang diduga akan munculpun (berdasar zhan apalagi kalau sudah ke tingkat yaqin ) harus diantisipasi oleh pihak terkait; pemerintah, tim medis, dan juga masyarakat luas.  Polemik tentang WNI yang di karantina tidak memperoleh air bersih sehingga menyebabkan mereka sakit seperti dilansir CNN Indonesia 09-02-2020 memunculkan ihtimal (kemungkinan) kalau keberadaan mereka di Natuna tidaklah terlalu tepat karena kesiapaan dari berbagai aspek belum terlalu maksimal. Dari kaedah ushul di atas, maka hal yang perlu diperhatikan yaitu: pertama, menghilangkan kemudharatan sebagai skala prioritas utama lalu kedua, mendatangkan kemaslahatan merupakan skala berikutnya; ketiga, kedua hal tersebut dapat berjalan bersama, menolak kemudharatan tanpa mendatangkan kemudhataran yang lain tetapi kemudharatan hilang dan kemaslahatan tetap muncul. Semua kemaslahatan yang akan diberikan pada WNI di Natuna tidak meminimalisir kemaslahatan apalagi sampai mendatangkan kemudharatan lain yang sama atau bahkan lebih bagi penduduk Natuna maupun sesama WNI yang di karantina di sana.

Berita positif seiring dengan hal tersebut, pemerintah beberapa hari sebelumnya telah berfikir mengupayakan untuk mencari tempat atau bahkan pulau agar penderita penyakit menular termasuk penderita virus corona (2019-nCov) dapat ditempatkan secara tersendiri seperti dinyatakan oleh Menko Polhukam Mahfud MD (CNBC Indonesia 06-02-2020). Dengan adanya pulau nanti, maka penyebaran penyakit menular tidak akan membahayakan penduduk lain, disinilah kaedah ushul di atas diaplikasikan bahwa menolak kemudharatan sambil mendatangkan kemaslahatan (dar’u al-mafaasid wa jalb al-mashalih) dapat benar-benar terealisir secara bersama-sama, semoga. Amien.

Oleh: Ja’far Assagaf

(Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia bidang Riset dan Pengembangan Ilmu & Dosen IAIN Surakarta)

 

Kartasura, 10-02-2020

 4,594 total views,  2 views today

Posted in Opini.