Sudah lebih dari 2 bulan sejak ditetapkannya wabah COVID 19 sebagai bencana nasional. Berbagai usaha telah dilakukan oleh berbagai pihak. Pemerintah dengan sekian himbauan dan regulasinya. Tenaga medis dengan peluh keringat perjuangannya. Masyarakat biasa dengan menahan egonya. Untuk mengatasi mengatasi musibah ini memang diperlukan kerjasama semua pihak agar segala upaya yang dilakukan dapat berjalan sinkron dan terkondisi.
Nyatanya dalam penerapan sehari – harinya banyak orang yang masih acuh dengan berbagai himbauan dan regulasi yang sudah digembar – gemborkan dimana – mana. Banyak yang mudik meski sudah dilarang langsung oleh bapak presiden melalui aturan PSBB nya. Tak sedikit yang tidak mematuhi aturan social dan physical distancing. Para pemburu baju lebaran masih ramai berdesak – desakan memenuhi pusat – pusat perbelanjaan. Bahkan jajaran pemerintah sendiri di akhir bulan suci Ramadahan dan di tengah pamdemi malah menggelar konser amal bertajuk bersatu melawan virus Corona, tapi tanpa menerapkan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan.
Para pakar dari berbagai kalangan banyak yang memberikan pandangannya mengenai wabah ini. Baik dari sisi kesehatan, ekonomi, sosial – budaya, teologi, politik, sampai agama. Masing – masing berkomentar dan menganalisa sesuai bidang keahliannya. Kajian dari berbagai disiplin ilmu pun marak dilakukan dimana – dimana. Hal ini seharusnya dilakukan untuk mengedukasi masyarakat secara teori tentang wabah ini. Bukannya malah menakut – nakuti. Dari sekian analisis dan kajian yang dilakukan, ada yang berpendapat bahwa setelah pandemi ini berakhir umat manusia akan memasuki era dimana akan adanya suatu konsep kenormalan baru yang dilakukan oleh mayoritas umat manusia di dunia. Konsep yang kemudian dikenal dengan istilah “ New Normal ”. Bagaimana konsep New Normal dalam perspektif Hadits ?
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْمَهْرِيُّ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي أَيُّوبَ عَنْ شَرَاحِيلَ بْنِ يَزِيدَ الْمُعَافِرِيِّ عَنْ أَبِي عَلْقَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ فِيمَا أَعْلَمُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا
( HR. Abu Daud no. 3740 )
“ Sesungguhnya Allah Swt. mengutus untuk umat ini ( Islam ) setiap akhir dari seratus tahun seseorang untuk memperbarui bagi umat tersebut Agamanya ”.
Hadits diatas sengaja saya cantumkan beserta sanadnya agar dapat dipastikan sejak awal bahwa hadits tersebut shahih. Baik dari sanadnya maupun matannya. Demikian menurut Syekh Syu’aib al Arnuth dalam ta’liqnya. Maka isi dari kajian mengenai hadits itu tidak akan sia – sia karena sudah diverifikasi sedari awal.
Tentang hadits ini penulis ingin membahas sisi lain yang jarang orang perhatikan. Kebanyakan ahli hadits mengartikan lafadz مَنْ dengan seseorang. Padahal lafadz مَنْ tidak selalu berarti seseorang. Dapat juga berarti sesuatu atau apa saja baik berakal maupun tidak berakal. Seperti firman Allah dalam Suroh An Nur ( 24 ) ayat 45.
وَاللَّهُ خَلَقَ كُلَّ دَابَّةٍ مِنْ مَاءٍ فَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى بَطْنِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى رِجْلَيْنِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى أَرْبَعٍ يَخْلُقُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (45)
“ ( Dan ) Allah telah menciptakan setiap hewan dari air. Diantara mereka ada yang melata dengan perutnya, ada yang berjalan dengan kedua kakinya, dan ada pula yang berjalan dengan keempat kakinya. Allah menciptakan apa yang Ia kehendaki, sesungguhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu.”
Lafaz مَنْ pada ayat diatas tidak dinisbatkan pada manusia sebagai makhluk berakal akan tetapi pada hewan. Maka penulis berpendapat mengenai lafadz مَنْ pada hadits riwayat Abu Daud tersebut dapat secara sosio – antropolog dipahami sebagai virus Corona atau COVID – 19. Mengenai masa 100 tahun dapat dipahami sebagai periode waktu tertentu. Bukan murni hitungan 100 tahun. Karena pada masa pandemi ini kita seakan sudah ada di ambang akhir periode sosial setengah digital dan akan segera memasuki era baru dimana yang tadinya pada masa ini mulai trendnya hubungan antar manusia secara daring ( online ), pada masa mendatang akan secara total atau paling tidak kebanyakan. Ini adalah masa akhir atau transisi dari zaman tersebut. Wabah COVID 19 seakan memaksa kita untuk segera memasuki periode baru tersebut.
Selanjutnya untuk tugas dari مَنْ tersebut adalah untuk mengajarkan agama pada umat Islam. Sebagaimana kita ketahui bahwa dengan adanya wabah ini kita seakan dipaksa untuk berlaku hidup bersih dan sehat. Hidup dalam disiplin yang rapih dan teratur. Dimana kesehatan dan kebersihan merupakan prioritas nomer satu. Sebenarnya kalau kita mau jujur, ini semua adalah sesuai dengan tuntunan dalam agama Islam. Banyak hadits dan atsar ‘ulama yang berisikan perintah untuk senantiasa menjaga kesucian dan kebersihan. Sebut saja yang masyhur seperti : Kebersihan sebagian dari iman. Ada pula hadits yang menyuruh kita berwudhu ( membersihkan diri khususnya wajah dan tangan ) sebelum dan sesudah makan, karena dengan wudhu akan membuat makanan kita penuh berkah ( HR. Bukhari no. 2637 ). Selain tentang kebersihan juga ada hadits yang memperingatkan agar orang yang sakit jangalah berada dalam kumpulan orang sehat agar penyakitnya tidak menular ( HR. Muslim no. 4117 ).
Demkian dapat dilihat berbagai macam rancangan untuk hidup kedepannya setelah masa pandemi ini yang berlandaskan pola hidup bersih dan sehat ( PHBS ) dan protokoler dari WHO sebenarnya adalah konsep hidup yang menerapkan ajaran agama Islam. New Normal yang akan datang sejatinya adalah bentuk perwujudan dari anjuran – anjuran mengenai kesucian, kebersihan, kesehatan, kedisiplinan dalam Islam. Jadi intinya yang seakan menjadi momok menakutkan setelah pandemi ini adalah kehidupan yang bernafaskan penerapan dari Al Qur’an, hadits, serta sumber – sumber lain dari ajaran agama Islam.
Seperti kata penyair tidak ada yang abadi kecuali perubahan ( Kahlil Gibran 1920 ). Manusia akan terus mengalami perubahan. Baik karena keinginan sendiri maupun paksaan. Kehidupan itu dinamis itu fakta yang tak terelakkan. Maka jangan takut dengan perubahan tapi persiapkanlah diri kita agar siap secara maksimal dengan segala perubahan yang akan terjadi. Bukan malah berlari ketakutan dari perubahan karena doktrin agama yang kaku. Ingat Islam itu rahmatan lil ‘alamin.
Penulis
Muhammad Al Fayyadh Maulana
Prodi Ilmu Hadits angkatan 2019
5,207 total views, 4 views today

Sebagai sebuah ijthad dalam rangka mengembangkan kajian Studi Hadis di Indonesia dibentuklah sebuah perkumpulan yang dinamakan dengan Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia (ASILHA). Sebagai sebuah perkumpulan ASILHA menghimpun beragam pemerhati hadis di Indonesia. Himpunan ini terdiri atas akademisi dan praktisi hadis di Indonesia dengan memiliki tujuan yang sama.