Mu’jam al-Syuyukh: Geneologi Ilmu dan Pemikiran

Dr. Ja’far Assagaf, MA

Email: jafar.assagaf@uin-suka.ac.id

(Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta – Sekretaris Umum Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia)

Dalam studi Islam, umumnya ulama teristimewa ulama hadis memiliki tradisi yang cukup unik yaitu menuliskan nama-nama orang yang berjasa pada mereka dari aspek ilmu pengetahuan. Reportase tersebut dengan menuliskan nama guru bagi pengkaji hadis sebagai murid dilatar belakangi oleh dua hal: pertama, untuk menghormati jasa guru; kedua, membuktikan sahnya transfer ilmu sekaligus menampilkan geneologi ilmu yang murid miliki sebagai pengkaji hadis berikut dominasi dan warna yang mempengaruhi ide, pola dan metode pemikirannya.

Tradisi tersebut telah dimulai sejak masa awal Islam periode mutaqaddimin (abad I-III H). Al-Marrudziyyu (w, 275 H) termasuk ulama yang menghasilkan karya tentang guru-gurunya, walaupun sebelumnya telah ada namun tidak terlalu sistematis. Dalam أخبار الشيوخ وأخلاقهم, al-Marrudziyyu memuat semua gurunya secara langsung, akan tetapi ada juga riwayat yang dia dengar dari orang lain yang kemungkinan dari teman atau beberapa orang di masanya. Tradisi ini diteruskan al-Nasa’i (w. 303 H) dalam تسمية مشايخ. Kemudian muncul term معجم الشيوخ dan seolah menjadi paten bagi ahli hadis yang menulis guru-guru mereka seperti al-Shaidawi (w. 402 H), al-Dzahabi (w. 748 H), dan al-Subki (w. 771 H). Pola Mu’jam al-Austath dan al-Shagirnya karya Thabarani (w. 360 H) sebenarnya berisi Mu‘jam al-Syuyukh.

Dalam Mu‘jam al-Syuyukh, selain menulis nama guru biasanya ahli hadis juga memuat riwayat hadis maupun sepenggal kisah guru tersebut. Berpijak dari tradisi mulia tersebut, maka hari guru 25 Nopember 2024 penulis mencantumkan guru-guru/orang yang pernah mengajari penulis baik formal maupun non formal. Mereka akan penulis bagi menjadi 3 kelompok, yaitu: pertama, siapapun yang pernah mengajari penulis. Tentu semua berdasarkan ingatan penulis, maka tidak semua dapat penulis ingat namanya karena keterbatasan sebagai manusia yang lemah. Meski demikian akan penulis sebutkan pernah belajar di sekolah/pondok mana, agar bisa diketahui guru-guru yang ada sekolah itu saat penulis bersekolah disitu; kedua, dari bagian pertama, ada guru yang sifatnya memberikan dorongan; dan ketiga, dari bagian pertama dan kedua, ada guru yang memberikan ide, pencerahan, pola, metode berfikir dan mempengaruhi pemikiran penulis. Semua ini diniatkan untuk mengenang dan menghargai jasa-jasa mereka, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat.

1. Guru yang Mengajari Penulis

Saat kecil, guru penulis adalah almarhumah (selanjutnya disingkat almh) Ibunda Alwiyah binti Idrus Albaar (w. 1998 M) dengan almarhum (selanjutnya disingkat alm) ayahanda bernama asli Syech bin Abu Bakar Assagaf (w. 1990 M), namun lebih disebut dengan Sa‘id (سعيد) Assagaf. Ada pula yang menyebut dengan ami Id Pertanian karena dinasnya di Pertanian lalu di Perkebunan Ternate Maluku Utara. Ayahanda menjadi guru mengaji al-Qur’an penulis saat kecil selain mengajari bahasa Indonesia, IPA dan Matematika saat penulis di bangku SD. Guru-guru ngaji lainnya: Ibu Ipa Albaar isteri dari Ami Id Albaar, paman penulis Salim Assagaf, saudara angkat penulis ka Ipa Assagaf; anak dari Ibu CI (Syifa) Albaar adalah ibu angkat penulis.

Duduk di bangku TK Alkhairaat Ternate 1981-1982, guru-guru penulis yaitu: Ustazah (selanjutnya disingkat Ustz) Muset binti Faray bin Abd Aziz (w. 2020 M), Ibu Fat tinggal di Kedaton Tidore, ustz Maryam Albaar. Di SD Islamiyah 4 kota Ternate 1982-1988, guru-guru penulis: Ibu Fat (wali kelas I, beda dengan Ibu Fat guru TK yang penulis tidak ingat nama lengkap keduanya), Ibu Wia/Alwiyah (wali kelas II, namanya sama dengan nama ibunda penulis), Ibu Yati (wali kelas III), Ibu As atau Asmiati? (wali Kelas IV) penulis tidak terlalu hafal namanya. Namanya penulis peroleh dari salah satu teman sekelas dan keluarga bernama Zubaida Assagaf. Ibu Cum; mungkin namanya Kaltsum (wali kelas Va dan VIa) yang mengangkat penulis menjadi ketua kelas V dan VI. Ibu Cum terakhir penulis ketemu sekitar Ramadhan 2009, saat penulis selesai ceramah di masjid yang lokasinya dekat dengan rumahnya, ibu Cum di kursi roda. Penulis lalu mencium tangan dan lututnya, beliau lalu menangis. Guru-guru penulis lainnya di SD: ustad (selanjutnya ditulis ust.) Abd Rahman orang Makian, alm. ust. Amin Dali Lapatiani (juga dosen penulis saat kuliah di STAIN Ternate 1997-1999 M), Pak Talib, Pak Amir Hi Daud kepala Sekolah Islamiyah IV, ibu Dawang, ibu Suhaida Assagaf dan guru-guru lainnya di sekolah itu yang penulis tidak ingat lagi, termasuk guru olahraga pengganti pak Talib di kelas VI. Kakak penulis Munjia Assagaf (sekarang Dr. Sp. M) pernah mengajari penulis pembagian Matematika di rumah.

Selain di SD, penulis juga bersekolah di madrasah Alchairaat kota Ternate Selatan, guru-guru penulis disini: ustz. Ulfah Albaar (wali kelas I) bersama ustz Bongso, ustz. Wardah Bachmid (wali kelas II), ustz. Khadijah asal Tidore (wali kelas III), ustz. Najmiah Assagaf (wali kelas IV), ustz. Basariah (wali kelas V) asli orang Sulawesi Tengah. Ustz. Basariah juga kepala sekolah di Alchairaat Selatan yang kadang dibantu oleh suaminya ust Musa. Penulis hanya sampai kelas V di ibtidaiyah ini. Ada satu hal yang menarik, ternyata wali kelas penulis dari TK, SD dan Madrasah semuanya adalah Perempuan. Pengaruh guru Perempuan di Pendidikan awal dan dasar tersebut sangat membantu dalam perkembangan ilmu dan karakter murid.

Saat usia TK sampai kelas II SD, penulis kerap kali diajak ayahanda menghadiri pengajian Habib Abu Bakar Alatas (awalnya dipanggil dengan ustad Abu Bakar), salah satu murid Sayyid al-Maliki (w. 2004 M). Tempat tinggalnya bersebelahan dengan sekolah penulis yaitu SD Islamiyah IV. Kedua orang tua penulis akrab dengannya.

Tahun 1988-1991 penulis mondok di Pesantren Alcahiraat Pusat di Palu Sulawesi Tengah dan di SMP Alchairaat, guru-gurunya: Pimpinan pondok alm. ust. Abdillah al-Jufrie bersama ketua utama alm. ust. Saqqaf al-Jufrie, MA (w. 2021), ust. Mutahhar al-Jufrie bersama isterinya ustz. Aminah al-Jufrie, ust. Hariyanto, ust. Dhamir, ust. Faisal Mahmud, ust. Muchlis, ust. Faqih, ust. Feneti Ruma asli Papua, ust. Alwi al-Jufrie (sekarang ketua Utama al-Khairaat), alm. ust. Shalih al-Jufrie, ust. Muh Rumi, ust. Abd Rahman bin Smith, ust. Husein Habibu, pak Taslim, pak Rendi, pak Abdullah Latupada.

Begitu juga pak Muhammadin seorang ‘mualaf’ namun belakangan ternyata misionaris dengan nama asli Antonius, dia kemudian dikeluarkan dari pondok Al-Khairaat Palu sekitar September-Nopember 1988. Hal ini karena dia menyamar menjadi seorang muslim namun faktanya memata-matai dan menyusup di al-Khairaat. Serta guru lainnya terutama yang tidak tinggal di pondok yang mengajar mapel umum, tidak penulis ingat satu persatu namanya.  Selain itu, santri senior sebagai musa’id (مساعد) juga mengajari penulis seperti: ust. Ridha Assagaf (juga kolega penulis di STAIN Ternate), dan kakaknya ust. Abd Rahman Assagaf (juga dosen pembantu di STAIN Ternate 1997-1999), ust. Luqman, ust. Maksum Rumi. Sebagian mereka sekarang sudah bertitel doktor dan mungkin profesor.  Di Al-Khairaat juga penulis mengikuti karate (Wadokai) dengan beberapa simpai (guru karate) yang penulis tidak ingat lagi namanya satu persatu.

Tahun 1991-1994, penulis mondok di Pesantren Dar al-Nasyiin Lawang Malang Jawa Timur, guru-gurunya: Pimpinan Pondok al-‘alim allamah Ust. Muhammad Ba‘bud, ust. Ali Ba‘bud, ust. Solihin al-Jawi, ust. Nasih al-Banjari, ust. Ali Shahab. Teman seangkatan dan murid senior bernama ust. Ali Pengaron al-Maduri juga mengajari penulis. Pondok ini tidak besar dan memuat tidak banyak murid. Di antara alumninya yaitu Alwi Shihab mantan Menlu era Gus Dur (w. 2009 M). Prof Quraish Shihab juga pernah mondok disini meski hanya sekitar 3 bulan (sebelum pindah ke Dar al-Hadis al-Fiqhiyyah di kota Malang) sesuai pengakuannya saat penulis bertemu pada Desember 2013 di sela-sela kegiatan TOT moderasi Islam di kota Ternate yang disponsori oleh salah satu bank pemerintah dan diselenggrakan bersama Al-Khairaat. Pondok Lawang memiliki ‘kerja sama’ dengan SMA Ma‘arif Lawang Malang Jawa Timur, maka tidak sedikit anak pondok yang masuk ke SMA tersebut termasuk penulis, untuk memperoleh ijazah negeri selain ijazah pondok (saat itu ijazah pondok belum disetarakan seperti sekarang). Guru penulis di SMA ini yaitu: guru biologi bapak Tejo (mungkin Sutejo), dan guru sejarah ibu Eni, serta guru lainnya saat itu yang penulis tidak ingat lagi, sebab hanya sampai kelas I SMA (1991-1992). Saat naik kelas II penulis berhenti dan fokus belajar di pondok saja sembari kemudian mengikuti ujian persamaan di Aliyah Al-Khairaat pada tahun 1994.

Tahun 1994-1995, penulis belum kuliah namun mondok lagi di Pesantren Dar al-Luqhah wa al-Dakwah Bangil Pasuruan Jawa Timur, guru-gurunya: alm. ust. Hasan Baharun, ust. Qaimuddin, alm. ust. Qasim Baharun, ust. Saqqaf Baharun, ust. Miqdad Baharun yang saat itu baru saja pulang dari Sayyid al-Maliki, Habib Husein al-Muhdhar, ust. As‘ad al-Maduri, ust. Hasan Bashri al-Maduri, ust. Abdullah Maula Khelah, ust. Abd Baits, ust. Ali al-Jufrie, ust. Hamzah, ust. Syakir, ust. Saifuddin (murid al-Maliki?), ust. Muhammad al-Haddad (juga murid al-Maliki), ust. Sulthan? ust. Badar? dan guru lainnya saat itu yang mengajari penulis. Kakak kelas bernama ust. Abd Aziz dari Lampung juga mengajari penulis di luar kelas.

Sekitar akhir Juli 1995 penulis lulus di IAIN Sunan Ampel Malang jurusan Pendidikan Bahasa Arab sebagai pilihan pertama, namun atas permintaan penulis saat itu agar bisa pindah ke IAIN Sunan Ampel pusat di Surabaya pada jurusan Tafsir Hadis. Yang menerima surat dari dekan Malang di Surabaya adalah wakil Dekan I Ushuluddin pak Murtafik Sufri dengan dekannya Pak Artani Hasbi saat itu belum guru besar. Guru-guru penulis di kampus ini (1995-1996) yaitu: ust. Syarif dari Madura, pak Muslih Fuadi, ibu Nur Fadlilah, pak Muhid, ust. Hasan Basri Banjar, ust. Akhyar, pak Tasmuji, pak Fajrul Hakam, Pak Loekisno, pak Arifin (Zainal?) yang mengajar Ilmu Alamiah Dasar, alm. pak Ahmad Hudaya lalu menjadi dosen di IAIN Surakarta dan menjadi kolega penulis saat bertugas di Solo. Serta guru lainnya di IAIN Sunan Ampel yang tidak penulis ingat satu persatu namanya, termasuk yang mengajari P4 saat itu untuk mahasiswa baru dan Ospek. Senior yang sering penulis datangi kosannya berdiskusi saat itu adalah Shalih al-Muhdar dari Sitobondo mahasiswa kritis dari jurusan Aqidah Filsafat.

Ibunda penulis mengalami sakit, maka awal tahun 1997 penulis resmi menjadi mahasiswa di kampus IAIN Alauddin cabang Ternate jurusan Pendidikan Bahasa Arab dengan konversi nilai. Guru-guru penulis di kampus ini (1997-1999) yaitu: ust. Yahya Abd Rahman Misbah, MA, ust. Ali Albaar; juga guru penulis di luar Kampus, pak Abdjan, ibu Junaenah Misbah, pak Muh Wardah (senior penulis di Ciputat dan tinggal di kontrakannya sampai tes pasca S2 selesai), ust. Taha Abd Wahab, ust. Abdullah Lapangandong, pak Hanafi Rajab, Pak M. Djidin, M.Ag, alm. ust. Asnawi, almh. ustz. Ruqayah Albaar, ustz. Fahima Abd Gani, ibu Nur Hasnah Abbas, ibu Suryani, pak Hamid Laonso, pak Yamin Hadad mengajar tarjamah dan terkadang meminta penulis membantunya menerjemahkan untuk teman-teman sekelas, pak Abd Rahman Marassabesy, M. Ag, pak Zein, pak Usman Ilyas, pak Zainuddin Arifin, pak Anshor Tohe, pak Mu’in? (dosen bahasa Inggris yang pindah ke Makassar), pak Bahar Hamdi, pak Muslim (guru Aliyah yang mengajar di kampus), pak Abdullah guru Alchairaat asal Kao sebagai dosen DLB, pak Muhdi al-Hadar, M.Ag, juga sebagai pembimbing Skripsi bersama Drs. Abdullah DP; dekan saat itu lalu menjadi ketua STAIN Ternate yang pertama sekitar Juli 1997. Sekarang sebagian besar mereka sudah doktor dan ada yang sudah menjadi guru besar.

Dosen yang sering berbincang-bincang dan berdiskusi di STAIN Ternate, meski tidak mengajar langsung di kelas penulis yaitu Dr. Moh. Isom Yusqi (sebelum menjadi guru besar. Beliau bersama penulis pernah berkeliling pulau Tidore dengan sepeda motor. Prof Isom juga banyak membantu penulis baik saat kuliah di Ciputat, tidur di kosannya. Pindah ke IAIN Solo maupun ke UIN Yogya. beliau termasuk senior dan teman terbaik) dan Pak Darsis Humah. Tahun 1997 penulis bertemu dengan dokter O. Hashem; sepupu/keluarga ayahanda untuk pertama kali saat ami Umar ke Ternate, lalu berlanjut di Bekasi Jati Bening saat penulis menempuh pascasarjana.

Tahun 2000-2002 kuliah S2, dan 2003-2008 kuliah S3 di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta kemudian menjadi UIN pertama di Indonesia (mulai kuliah Pebruari/Maret 2004 karena berdekatan dengan pengumuman lulus CPNS yang mengharuskan penulis ikuti Cados pasca CPNS Juli-akhir Oktober atau awal Nopember 2003). Guru-guru penulis di kampus ini: Prof. Aqil al-Munawwar, Dr. Sahabuddin, alm. Dr. Lutfi Fathullah (w. 2021 M), Prof. Quraish Shihab, Prof. Badri Yatim (w. 2009 M), Dr. Fuad Jabali, Prof Yunan Yusuf Nasution, KH Dr Masyhuri Naim (w. 2014 M), Dr. Faizah Ali Sibromalisi, Prof Ahmad Thib Raya, Prof. Salman Harun, Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, Prof. Nasaruddin Umar, Prof Bachtiar Effendi (w. 2019), Prof Azyumardi Azra (w. 2022), Prof. Rif‘at Syauqi, Prof. Aminuddin, Prof. Emo? bersama Dr. Aceng; keduanya dosen filsafat ilmu, Dr. Muslih. Di luar kelas penulis berbincang, diskusi dengan Prof Huzaemah Tahido Yanggo (w. 2021) sebagai orang tua/dosen, pengurus MUI Pusat di Komisi Fatwa serta sebagai senior alumni Al-Khairaat.

Penulis menyempatkan menghadiri beberapa kali ujian terbuka dengan penguji Dr. Satria Efendi (w. 2000) yang cukup menginspirasi. Mengikuti kuliah umum Prof Nurcholish Madjid di UIN Ciputat maupun di tempat lainnya. Pembimbing tesis penulis adalah Dr. KH Masyhuri Na‘im dan Dr. Lutfi Fathullah dengan penguji Prof. Hasanuddin AF. Pembimbing Disertasi penulis adalah Prof. Mulyadhi Kartanegara dan Dr. Sahabuddin dengan penguji proposal terdiri dari: Prof. Amir Syarifuddin saat aktif MUI di Jakarta, Prof Kausar Azhari Noor dan Dr. Muchlis Hanafi. Penguji ujian disertasi selain promotor yaitu: Prof Amani Lubis, Prof Yunan Yusuf, Prof Suwito, Dr. Lutfi, dan Prof Azyumardi Azra. Selama di Ciputat dalam rentang Pebruari/Maret 2005 sampai Nopember 2007, penulis mengajar di Pondok Pesantren Nurul Iman al-Ashriyah Parung Bogor pimpinan Habib Saqgaf bin Mahdi, disini juga penulis memperoleh ilmu melalui obrolan dan diskusi dengannya.

Pada Juli-akhir Oktober 2003, penulis mengikuti pembibitan CADOS (calon dosen) pasca CPNS dan ini untuk pertama kali, sebab sebelumnya CADOS diselenggarakan oleh Kemenag sebelum CPNS. Guru-guru/dosen yang mengajar dan mengisi materi di kegiatan tersebut yaitu: Pak Muh Khatib, pak Tsamir; keduanya native speaker dari Suriah dan Irak, pak Tulus, pak Zamzami, Prof Machasin, pak Rinduan Zain, Prof Dudung, Dr. Ir. Luthfi Hasan, Prof Ichlasul Amal, dan kelompok CTSD Bu Sekar, pak Barmawi, pak Hisyam Zaini (kebanyakan mereka sekarang sudah guru besar) serta lainnya yang tidak penulis ingat satu persatu. Rata-rata tenaga pengajar/dosennya berasal dari IAIN Sunan Kalijaga sebab kegiatan diselenggarakan di Yogyakarta. Di masa ini angkatan CPNS tersebut juga mengikuti prajabatan di Yogya yang diisi oleh beberapa narasumber termasuk Prof Sangkot Sirat.

2. Guru yang Memberikan Dorongan dan Dukungan

Perlu diingat semua guru tanpa terkecuali mendorong dan mendukung muridnya untuk giat belajar, namun ada beberapa guru memberikan dorongan dan dukungan lebih dari biasanya, baik melalui lisan maupun pola mereka mengajar dan saat penulis meminta pandangannya. Guru penulis di kelompok ini yaitu:

  • Kedua orang tua penulis yang sejak awal memang menginginkan agar penulis mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu Islam, meski saat itu penulis lebih tertarik dengan pelajaran umum bahkan sampai kelas I SMA teristimewa biologi. Saat ayahanda wafat 1990, penulis pernah meminta ibunda agar berhenti mondok dan melanjutkan ke SMP negeri, tapi ibunda tetap pada pendirian, mungkin telah diwasiatkan oleh ayahanda agar penulis tetap mondok.
  • Ustz Muset binti Faray; guru tiga generasi yang meletakkan fondasi awal bagi penulis untuk berani tampil di depan banyak orang, termasuk kegiatan murid TK pergi ke RRI Ternate untuk bernyanyi yang disiarkan melalui radio.
  • Ustz Basariah wali kelas V ibtidaiyah al-Khairaat yang berulang kali dan tak bosan menasihati penulis untuk belajar ilmu agama dan menyuruh agar melanjutkan Pendidikan di Pesantren al-Khairaat Palu. Sekitar 1997, ustz meminta penulis untuk memberi insight di al-Khairaat Selatan di depan murid, wali murid dan pengurus.
  • Ustz Khadijah wali kelas III ibtidaiyah; guru berkarakter, disiplin, menguatkan penulis untuk memainkan peran sebagai sahabat Bilal bin Rabah (w. 20 H) dalam acara fragmen pendek maulid Nabi suci saw di ibtidaiyah Al-Khairaat Selatan. Embrio yang memupuk keberanian untuk tampil berbicara di depan banyak orang.
  • Ibu cum wali kelas Va dan VIa menjadikan penulis ketua kelas selama 2 tahun. Memperoleh pelajaran tentang koordinasi, memimpin orang di kelas meski masih dalam bentuk yang sederhana.
  • Ust Saqqaf Aljufrie (w. 2021); ketua utama al-Khairaat sampai 2021, meski sibuk sebagai anggota MPR utusan dari Sulteng saat itu, masih berkesempatan mengajar di kelas. Beliau memberikan insight pada murid melalui syair-syair guru tua, dan nyanyian/qasidah tentang kecintaan kepada republik Indonesia.
  • Ust Abdillah al-Jufrie pimpinan pesantren al-Khairaat Palu, selain mengajar juga memberikan metode menghafal jika mengalami kesulitan, di antaranya dengan mengeraskan suara. Beliau juga memberikan motivasi tinggi. Menguatkan penulis saat ayahanda wafat, agar fokus pada ilmu. Beliau berpesan yatim itu bukan tidak ada orang tua, tetapi tidak ada ilmu dan adab sebagaimana bunyi salah satu syair.
  • Ustz Mutahhar Aljufrie, berdedikasi tinggi, mutasawwif. Selain mengajar di kelas, penulis juga belajar hadis; Riyadh al-Salihin dan ilmu nahwu di rumahnya, terutama saat ayahanda penulis wafat. Ust Mutahhar mendorong agar penulis tetap tabah dan terus lanjut belajar di pondok. Beliau juga menjadi perantara penulis mengenal dan mengajar di pondok Habib Saqqaf Nurul Iman al-Ashriyyah Parung Bogor 2005-2007.
  • Habib Abu Bakar Alatas, mendorong berulang kali kepada ibunda agar penulis dipondokkan di Dar al-Nasyiin Lawang-Malang Ust Muhammad Ba‘bud. Ramadhan tahun 1990, penulis tidak pulang ke Ternate tapi ke Ujung Pandang (Makassar) (kakak penulis kuliah di kedokteran UNHAS), kerap kali menghadiri tarawih bersama di rumah Habib Abu Bakar, setelah itu kadang diisi obrolan lepas tentang Islam. Selain memperoleh dorongannya, juga contoh kedermawanan terhadap tamu, bahkan sampai sekarang pengajiannya menyiapkan makanan bagi mereka yang hadir.
  • Bapak Taslim di Palu dan Bapak Tejo di Lawang Malang keduanya guru biologi yang paham kalau penulis menyukai pelajaran ini, sehingga hampir setiap tugas dan PR mapel ini, salah satu soalnya penulis yang menyelesaikannya.
  • Ust Muhammad Ba’bud (w. 1993), mendorong selalu belajar, mencontohkan kesederhanaan, mengasihi anak yatim dan berbagi dengan orang lain. Ust Muhammad memiliki kebiasaan memberikan kelebihan rezekinya kepada anak yatim yang ada di pondok, termasuk penulis. Mereka diprioritaskan terlebih dahulu dibanding anak pondok yang masih memiliki orang tua. Di kesempatan lain anak pondok tersebut juga memperoleh itu; hadiah dan sebagainya bersama-sama dengan anak yatim.
  • Ust Ali Ba’bud (w. 2007) mendorong agar penulis memilih membaca buku apa saja bagi mereka yang menekuni ilmu agama, baik pemula maupun lanjutan. Penulis kerap kali bertanya pada beliau, salah satunya hadis tentang Nabi suci saw menggabung dua shalat dalam satu waktu.
  • Ust Solihin al-Jawi mendorong agar penulis fokus dengan pelajaran, mengimami shalat, memimpin doa dan membatasi agar tidak terlalu membicarakan seputar isu Sunni Syiah yang saat itu hangat di Jawa Timur
  • Ust Ali Pengaron al-Maduri mendorong untuk menekuni nahwu dengan memberikan privat kepada penulis di luar kelas
  • Ust Hasan Baharun (w. 1999) mendorong agar penulis tetap menuntut ilmu dan berakhlaq mulia, saat penulis pamit ini adalah pesan utamanya
  • Ust Qaimuddin, guru yang menumbuhkan kesukaan penulis pada usul fiqh dan logika berpikir. Penulis pernah menelpon beliau sekitar tahun 2014 atau 2015 mengucapkan terima kasih atas hal itu saat di pondok.
  • Ust As’ad al-Maduri memberikan privat kepada penulis mempelajari usul fiqh dan ulum hadis dari karya sayyid al-Maliki; al-Manhal al-Lathif.
  • Ust Hasan Bashri al-Maduri, guru yang menambahkan kecintaan penulis pada sejarah (sirah) Nabi suci saw. Paling terkesan saat beliau mengisahkan detailnya proses perang Khaibar 7 H dan perang Mu’tah 8 H.
  • Ust Abdullah Maula Khelah (w.?), salah satu murid sayyid al-Maliki. Menumbuhkan di hati penulis mendalami ilmu hadis. Di satu kesempatan saat mengajar, beliau bertanya: “jika hadis diriwayatkan oleh Imam Syafi’i (w. 204 H) dari Imam Hanafi (w. 150 H) apakah hadis itu shahih atau tidak?”. Kebetulan di kelas saat itu tidak ada yang menjawab kecuali penulis, dan jawaban penulis benar kalau hadis itu terputus karena kedua imam itu tidak bertemu.
  • Ust Syarif dari Madura; dosen IAIN Sunan Ampel saat itu (1995-1996), memberikan dorongan untuk berpikir kritis terhadap sebuah penafsiran al-Qur’an. Insight berkesan di makul tafsir maupun ulum al-Qur’an, dan kebetulan penulis diberi nilai tinggi.
  • Ust Ali Albaar (w. 2016); dosen dan paman (khal) penulis, mengajar di kampus STAIN Ternate saat itu (1997-1999), dan bersedia mengajari penulis di luar kampus untuk melanjutkan kajian ushul al-hadis dari kitab al-Manhal al-Lathif. Mendorong penulis untuk selalu kembali kepada sumber asli hadis.
  • O. Hashem (w. 2009), penulis memanggilnya ami Umar. Dokter yang praktik di Bandar Lampung, setelah pensiun berdomisili di Jati Bening Bekasi. Beliau memiliki keunikan karena mendalami Islam khususnya kritik sejarah. Mendorong penulis berpikir kritis terhadap apa pun terutama sejarah.
  • Prof Aqil al-Munawwar, dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mendorong penulis untuk mendalami ilmu hadis, manhaj al-muhaddisin, al-jarh wa al-ta’dil dan kritik hadis terkait dengan ushul fiqh
  • Dr. Sahabuddin dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pembimbing Disertasi dan mendorong penulis untuk memahami makna hadis terkait dengan fiqh al-hadis dari berbagai perspektif mazhab
  • Dr. Lutfi Fathullah (w. 2021) pembimbing Tesis penulis, mendorong penulis memahami ulum al-hadis, kritik hadis dan teori dan praktik ilmu ilal al-hadis
  • Prof Badri Yatim (w. 2009) dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mendorong penulis untuk memahami tahapan-tahapan dalam sejarah Islam klasik sampai sejarah Islam modern.
  • Dr. Fuad Jabali dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mendorong penulis untuk mengkaji sumber-sumber sejarah outsider yang berbahasa Inggris.
  • Prof Quraish Shihab dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, memberikan pola penafsiran, dan beberapa insight tentang tafsir yang sangat berharga. Selain itu, penulis sering mengoleksi karyanya.
  • KH Dr. Masyhuri Na’im dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pembimbing Tesis, mendorong penulis mengkaji hadis dengan perspektif ulama hadis dan ushul fiqh. Mahasiswa yang dibimbingnya kalau ke rumahnya diajak makan terlebih dahulu. Penulis juga pernah menginap di rumahnya saat bimbingan.
  • Prof Huzaemah Tahido Yanggo (murid dari Guru Tua), mendorong penulis agar menyelesaikan studi secepatnya dan insightnya tentang perbedaan ulama mazhab saat penulis menulis Disertasi.
  • Habib Saqqaf bin Mahdi bin Syekh Abu Bakar (w. 2010); pimpinan pondok pesantren Nurul Iman al-Ashriyyah Parung Bogor, mendorong penulis untuk konsen dengan ilmu dan karenanya penulis diminta mengajar di sekolah tinggi pondok tersebut (2005-2007). Beliau juga pernah meminta agar penulis beserta keluarga pindah dan tinggal di dalam pondoknya/

3. Guru yang Mempengaruhi Cara Berpikir Penulis

Guru pada bagian ini adalah mereka berkontribusi lebih dalam pada cara berpikir, baik itu dalam bentuk ide, metode, pencerahan maupun teladan yang membekas dalam diri penulis. Guru-guru di bagian ini adalah

  • Ibunda Alwiyah Albaar (1932/3-1998 M) dengan latar belakang pendidikan sangat minim memberikan teladan kejujuran, kasih sayang, disiplin, ketaatan, kesetiaan, keteguhan dan perjuangan. Beliau tidak bisa/kurang bisa membaca aksara Indonesia. Namun bisa membaca huruf melayu pegon (tulisan Arab dibaca Indonesia). Sering membaca al-Qur’an dan shalat tahajjud. Penulis pernah disuruh belanja di toko Sejahtera Ternate, pemilik toko mengembalikan uang lebih. Sampai di rumah penulis disuruh balik untuk mengembalikan uang itu. Pesan ibunda, yang bukan milik kita dikembalikan meski mereka tidak seagama dengan kita. Perjuangan beliau juga berat terutama setelah ayahanda sakit dan wafat, ibunda jualan roti (bakpao), kripik dan kecap untuk memenuhi kebutuhan keluarga, meski kakak penulis nomor I Muznah Assagaf,  kakak nomor II Munira Assagaf bersama suaminya ka Bib/ Alwi Assagaf ikut membantu. Selain suka silaturahmi, ibunda memiliki keunikan menghafal detail pertalian keluarga yang ada di tempat penulis; Falajawa. Beliau menjelaskan silsilah dari pihak keluarga ayahnya (peranakan Arab) maupun ibunya (peranakan Cina). Ibunda menguatkan penulis untuk belajar agama berulang kali, mengantar langsung penulis ke kota Palu dan Lawang-Malang.
  • Ayahanda Syech Assagaf (lahir 1931 dan ini aslinya kata beliau namun tertulis di KTP 1934-wafat 1990), memberikan teladan yang sama tentang kejujuran, disiplin, ketaatan dan tanggung jawab. Saat kelas III SD, tersobek buku cetak teman sekelas (namanya Ali Basri) akibat keteledoran penulis, ayahanda lalu memberikan uang (300 rupiah saat itu) untuk menggantinya dengan penjelasan seharusnya penulis yang menggantinya. Namun penulis belum bekerja, uang tersebut nanti diganti dengan mengurangi uang jajan penulis. Meski berlatar belakang pendidikan umum, namun antusiasnya pada agama sangat dalam, ayahanda bisa menghafal lebih dari 7 Juz al-Qur’an, membeli kamus bahasa Arab dan belajar kepada beberapa ustad/ulama.
  • Ustad Muhammad Ba‘bud (w. 1993 M) guru empat generasi. Saat penulis hendak mondok di Lawang, Ust Muhdar BSA (w. 1992); salah satu ulama di Ternate ahli faraidh, datang menemui penulis dan memberitahu Ust Muhammad adalah gurunya dan tingkatnya ulama/wali. Bapak Zein Abbas (w. ± 1997) juga demikian  berpesan kesempatan belajar ke Ust Muhammad sangat beruntung, ambillah mutiara yang ada padanya. Ust Muhammad membantu mengajar pada usia 14-15 tahun lalu diangkat menjadi guru di al-Khairiyyah Surabaya di usia remaja 16-17 tahun. Ustad Umar bin Ahmad Baraja pengarang Akhlaq li al-Banin (juz II ada pengantar Ust Muhammad), dan ust Husein al-Habsyi Bangil termasuk muridnya. Mengajar menjadi kehidupannya. Tahun 1940 ust Muhammad berumur ± 33-34 tahun pindah ke Lawang dan mendirikan pesantren Dar al-Nasyi’in. Saat beliau mengajar untuk murid al-kibar (senior) menggunakan bahasa Arab di ruang tamu/belajarnya. Sangat terkesan saat menjelaskan arah kiblat dan perbedaan mazhab; bagaimana Indonesia menghadap ke arah jazirah, yang di jazirah ke Mekkah, yang di Mekkah ke masjid al-Haram, yang di masjid tersebut ke Ka’bah dengan terinci, serta beberapa pengajaran lainya yang berkualitas. Saat melihat, mendengar penjelasan itu terbetik di hati penulis inilah ulama yang alim dengan pola penjelasannya.

Ust Muhammad Sunni tradisionalis, idealis, namun sangat sederhana. Sampai wafat beliau belum berhaji, mungkin uang spp anak yang mondok untuk biaya mereka dan pembangunan pondok, tidak untuk yang lain. Penulis mengerti sanad ilmu melalui ilbasnya kepada penulis bersama beberapa teman. Kopiah dipakaikan ke kepala kami lalu dibacakan bahwa beliau mengilbas sebagai transfer ilmu dari guru beliau sampai ke Nabi suci saw. Tiga guru beliau disandarkan saat ilbas yaitu Habib Muhammad al-Muhdar Bondowoso (pimpinan al-Khairiyyah), Habib Ali Kwitang (ulama fiqh) dan ust Abdul Qadir Bilfaqih Malang (ulama hadis). Meski tradisionalis beliau tetap kritis, saat membaca hadis Mu’awiyah (w. 60 H) dilewati walaupun beliau juga sangat tajam mengkritik Syi‘ah. Beliau memiliki karya tulisan tangan (sebagian sudah dicetak pdf kalangan terbatas). Setelah wafat, penulis ke kamarnya diajak oleh salah satu sibthnya Quraish al-Idrus. Di situ penulis melihat buku hijau dahulu berukuran besar (3 atau 4, tidak ingat persis). Isinya tulisan tentang keislaman: mufradat dan maknanya, ilmu tafsir, ilmu hadis, ushul fiqh, fiqh, nasab, sejarah Islam, tokoh/ulama dan lainnya dengan berbahasa Arab. Saat ujian masuk S2, penguji lisan Prof Aqil al-Munawwar bertanya pada penulis pernah mondok di mana saja, saat disebut Dar al-Nasyi’in, Prof Aqil berkomentar ust Muhammad alim. Ust Muhammad wafat di usia 87 tahun.

  • Prof Dr. Said Aqil al-Munawwar. Doktor alumni Ummul al-Qura Mekkah, direktur pascasarjana UIN Jakarta (1999-2003), Menag (2001-2004). Melaluinya pola pemikiran penulis tertata tentang kronologi ulama hadis dan tahun wafatnya, pemetaan kitab hadis, rijal, ulum al-hadis, dan syarh, model dan metode ahli hadis dalam rentetan sejarah, penjelasan hadis perspektif ushul al-fiqh. Beliau pernah mengizahkan kami di kelas hadis riwayat al-Thabarani (w. 360 H) mengenai tahapan umur manusia dan anugerah Allah pada mereka. Prof Aqil juga membaca disertasi penulis meski saat itu bukan pembimbing, dengan memberikan arahan dan referensi tambahan. Selain di kelas, penulis juga bertanya kepadanya seputar hadis dan ilmunya baik di kantor maupun pernah ke rumahnya di Ciputat (sebelum sekarang di Bintaro).
  • Dr. Sahabuddin, doktor alumni al-Azhar Cairo. Memberikan pemetaan dalam pemikiran penulis tentang pemahaman topik dan ma‘ani al-hadis dari kitab syarh maupun kitab fiqh. Menariknya beliau memiliki kedalaman dari aspek fiqh al-Syafi’iyyah, dan tak bosan untuk melayani pertanyaan penulis terus-menerus yang menjadikan diskusi hangat. Penulis juga sering bertanya pada beliau di luar kelas terkait hadis, terutama di saat bimbingan disertasi. Bagi penulis Dr. Sahabuddin adalah guru besar dari aspek keilmuannya. Selesai S3, penulis kerap kali menghubungi beliau melalui sms (sebelum ada wa) sampai tahun 2013-2014 untuk bertanya seputar hadis dan fiqh. Sekarang penulis kehilangan kontak dengan beliau.
  • Dr. KH Ahmad Lutfi Fathullah (1964-2021 M), doktor alumni universitas Kebangsaan Malaysia dan S2 Jordan University. Memetakan dengan jelas pembagian besar kajian hadisPola mengelompokkan thabaqah al-ruwat menjadikan penulis terlatih mengaitkan jaringan ulama hadis di masanya. Pokok ilmu hadis dalam kitab Ibn Shalah (w. 643 H) terus ditekankan untuk dikuasai oleh muridnya. ‘Ilal al-hadis merupakan bagian istimewa pembelajaran penulis dengan menelusuri riwayat al-Zuhri (w. 124 H) kepada murid-muridnya tentang shalat witir. Bagi penulis Dr. Lutfi adalah guru besar dari aspek keilmuannya. Beliau kerap menceritakan pengalamannya di Suriah bersama ulama hadis, saat penulis ke rumahnya bimbingan tesis di kawasan kuningan (masjid Baitul Mughni). Terakhir sebelum beliau wafat, penulis sempat menjadi narasumber bersama di UII secara online di masa covid-19.
  • O. Hashem/ami Umar Assagaf (w. 2009 M), dokter yang menekuni sejarah Islam, dan menguasai lebih dari 1 bahasa asing (Inggris, Belanda, terakhir belajar bahasa Arab menerjemahkan Nahjul Balaghah sampai khutbah ke 85. Kalau Puncak Kefasihan Nahjul Balaghah terjemahan lengkap oleh kakaknya M. Hashem). Tahun 1989, O. Hashem mengirim ayahanda buku terjemahan berjudul sebuah kajian tentang sejarah dan hadis karya Murtadha al-Askari (w. 2007). Ayahanda sebagai Sunni berkata buku itu syi’ah tapi kamu (penulis) bisa membacanya. Ami Umar memang beberapa kali mengirim buku ke ayahanda baik karyanya atau lainnya yang dipublish YAPI Bandar Lampung. YAPI; Yayasan Penyiaran Islam ami Umar dirikan bersama Hadi A. Hadi, Suherman (Muhammadiyah), Nabhan (al-Irsyad) dan Ust Husein al-Habsyi tahun 1961, agaknya ini yang menginspirasi ust Husein menamakan pondoknya dengan YAPI berdiri 1976. Ami Umar waktu ke Ternate 1997, memberikan ketajaman kritis tentang sejarah Islam, meski penulis yang berlatar Sunni tradisionalis tidak menerima begitu saja namun diskusi di malam-malam itu -sebagian bersama sepupu penulis Muhammad Albaar- mempengaruhi penulis dalam konteks memahami berbagai perspektif sejarah Islam. Lanjut di Jati Bening Bekasi (rentang 2000-2002) penulis ketemu ami Umar lebih dari sekali juga berdiskusi. Kata beliau orang bisa berbeda, terpenting memiliki hujjah, dan saling menghargai, insight yang sangat berharga.

Ami Umar dokter muda di Airlangga -kalau tidak keliru sekelas Tarmidzi Taher; Menag 1993-1998- dan dokter lengkapnya di Unpad Bandung. Dokter idealis, syi‘ah, namun sederhana. Sampai pensiun beliau belum memiliki rumah. Di Jati Bening rumah yang sederhana tersebut infonya diberikan seseorang kepadanya. M Natsir (w. 1993) dan HM Rasyidi mengaguminya, meski akhirnya nampak renggang.  Ami Umar menulis beberapa karya di antaranya: Keesaan Tuhan, Marxisme dan Agama, dan paling dikenal karena Saqifah Awal Perselisihan Umat. Seminar 21 September 1997 di Istiqlal, besoknya langsung dijawab Ami Umar dengan judul awal Jawaban Lengkap terhadap Seminar lalu diberi judul syi’ah ditolak syi’ah dicari, beliau mengirim penulis versi pertama buku tersebut melalui anaknya; kak Husein. Saat di Ternate, ami Umar meminta untuk mempertemukan dengan ulama, kata penulis ada paman penulis tapi Muhammadiyah, kata beliau tidak masalah (sayang, tidak sempat ketemu). Ini mengajarkan sesama tokoh agama, cendekiawan, ulama perlu silaturahmi meskipun nanti berbeda tidak masalah dan mungkin juga menyamakan persepsi tentang umat Islam dan masyarakat di masa depan.

  • Ustad Ali Albaar Lc (w. 2016 M) kakak ibunda (khal) penulis. Tokoh Muhammadiyah, ketua majelis Tarjih dan ketua MUI Maluku Utara mungkin sekitar 1980-1990. Beliau belajar langsung pada A Hasan (w. 1958) pendiri Persis saat mondok di Bangil (kisaran 1951-1955) lalu ke al-Azhar Mesir. Desember 2013 saat Prof Quraish berada di Ternate penulis menjembatani pertemuannya dengan paman penulis di rumah paman. Kampus STAIN Ternate menyebut Ust Ali sebagai kamus berjalan. Beliau Sunni modernis, idealis, dan sederhana, pernah memulangkan sepeda kumbang/ontel ke DPRD Ternate saat mewakili ulama/tokoh agama di dewan sekitar tahun 1970-an. Banyak ceriteranya hal-hal tersebut di kampus STAIN Ternate. Di luar kampus, penulis selain lanjut membaca al-Manhal al-Lathif (1997-awal 1998), kerap kali bertanya dan diskusi dengannya meski berbeda episteme. Beliau sering katakan mau mengikuti Nabi suci saw atau ulama? Pertanyaan yang cukup berat dijawab sebab butuh diskusi dan referensi untuk menjawabnya. Ramadhan 2016 sebelum wafat, beliau memberikan hadiah kitab pada penulis, di antaranya karya al-Baqilani (w. 403 H), Syaltut (w. 1963 M), Sayid Sabiq (w. 2000) dan lainnya. Pola pikirnya kembali ke sumber hadis asli mempengaruhi penulis agar menelusuri tidak hanya hadis tapi perkataan yang dinisbahkan ke ulama siapa saja.
  • Ustad Saqqaf al-Jufrie, MA (w. 2021) alumni al-Azhar. Saat penulis kuliah di Ciputat, bertemu dengannya lebih dari sekali termasuk di rumah Prof Huzaemah, kesempatan ini penulis bertanya, diskusi dengannya. Pertemuan di rapat MUI di Jakarta pada tahun 2009 dan 2010, penulis sebagai anggota komisi Fatwa 2008-2010 perwakilan Maluku Utara, lalu menjadi ketua Komisi Fatwa MUI provinsi Maluku Utara (2010-2015) (penulis masuk menjadi pengurus MUI diajak oleh ketua MUI Maluku Utara bapak Drs. Yusuf Abd Rahman w. 2011 M, juga rektor Unkhair Ternate 1983-1998). Dua hal dari Ustad Saqqaf yang menguatkan pemikiran penulis; pertama, acara MUI 2010 beliau mengulangi insight tentang koordinasi pemuka agama dan kerukunan untuk bangsa Indonesia; kedua, perbedaan mazhab bukan menjadi halangan dan tidak boleh saling menyalahkan apalagi mengkafirkan. Terakhir ketemu dengan beliau tahun 2018 di rumahnya kebetulan hadir pula pak Dr. Haidar Baqir dan saudaranya Dr. Zainal Abidin Baqir, bertepatan saat penulis menghadiri AICIS di Palu.
  • Dr. Fuad Jabali, S3 lulusan McGiil University. Dosen menginspirasi kritis terhadap sejarah Islam klasik. Proses pembacaan referensi outsider berbahasa Inggris menguras tenaga dan waktu penulis. Saat itu teman kami yang dinilai paling bisa bahasa Inggris di kelas Dadang Darmawan (satu angkatan S3 dan dosen UIN Bandung) kerap kali membantu kami sekelas menerjemahkan sumber-sumber itu. Sikap terbuka pak Fuad saat dialog di kelas, sambil menjelaskan dan bertanya sambil kritik menjadikan penulis melakukan hal yang sama kepada mahasiswa. Bagi penulis pak Fuad adalah guru besar dari aspek keilmuannyak. Agustus 2023, saat penulis mengantar Prof Kamaruddin Hidayat ke Bandara Adi Sucipto setelah acara 70 Tahun Prof Amin Abdullah, mengatakan hal yang mirip tentang keilmuan pak Fuad Jabali.
  • Prof Dr. Muh. Quraish Shihab, pakar tafsir Indonesia lulusan al-Azhar Mesir. Saat penulis di akhir S2 (2002) beliau kembali ke Indonesia setelah tugas sebagai dubes. Penulis mulai mengikuti kuliahnya sebagai mustami, dan diizinkan berbicara. Saat tes lisan masuk S3 beliau pengujinya, meminta penulis membaca ulum al-hadis karya Ajjaj al-Khatib (w. 2021) lalu beliau bertanya. Dari 5 pertanyaan, penulis menjawab semua kecuali pertanyaan pertama (mungkin karena nervous). Sebelum berakhir penulis teringat dan ingin menjawab pertanyaan pertama, kata beliau tidak usah, insya Allah lulus. Dari sini penulis bertambah paham tentang kata dan makna insya Allah menurut ahli tafsir tersebut. Insight beliau banyak penulis dapat dari karyanya membumikan al-Qur’an sampai karyanya sekarang masih sering mengoleksinya. Cara beliau menyelesaikan suatu pertanyaan terkait al-Qur’an dan menganalisisnya adalah hal yang berharga bagi penulis.
  • Prof Badri Yatim (w. 2009 M) bagi penulis selain dosen juga tempat bertukar pikiran tentang sejarah Islam, termasuk awal disertasi pemetaan ahl al-kitab dan lainnya terkait sejarah agama di jazirah Arab. Kepiawaiannya mengronologis sejarah Islam klasik sampai modern mendasari penulis secara kuat tentang ini. Saat mencari beasiswa, penulis memintanya untuk memberikan rekomendasi, beliau menandatangani sambil berkata boleh mengisi rekomendasi itu sesuka (positif) penulis. Tahapan-tahapan dinasti Abasiyyah sangat kuat melekat di hati penulis lantaran beliau meminta kami mendalaminya. Pernah ketemu di klinik UIN Ciputat saat beliau berobat dan kami ngobrol tentang sejarah Islam sampai dokter memanggil giliran beliau. Terakhir saat penulis wisuda S3 2008, secara kebetulan beliau bersama Pak Fuad Jabali, Pak Abd Chair lalu berfoto bersama. Semoga fotonya masih ada di kamar belajar penulis di Ternate
  • Ust Ali Ba’bud (w. 2007) banyak menguatkan penulis dari aspek moril. Saat kuliah di Jakarta, 1 atau 2 bulan sekali penulis meneleponnya meminta doanya juga bertanya seputar keagamaan. Nasehat-nasehatnya via telepon tetap berbekas di hati penulis. Terakhir penulis ketemu dengan beliau di Lawang pada tahun 2004 dan 2005.
  • Ust Qaimuddin pesantren Dalwa Bangil, beliau kalau tidak keliru pernah mondok di Sidogiri dan beberapa pondok lainnya di Jawa Timur. Cara beliau menjelaskan Fath al-Mu’in di sore hari waktu tertentu dengan metode bandongan sangat membekas tentang pola ahli fiqh. Uniknya kadang hukum suatu masalah dalam kitab tersebut dipaparkan dari aspek usul fiqh dan kaidahnya, sembari terkadang juga diselingi humor. Ust Qaimuddin juga mengajar ushul fiqh di kelas penulis pagi hari menggunakan karya Abd Hamid Hakim dan Sayyid al-Maliki.
  • Ust Saqqaf bin Mahdi bin Syekh Abu Bakar (w. 2010) Parung Bogor. Selain pernah mengajak penulis tinggal dalam pondok, beliau mencerahkan penulis tentang funun al-‘ilm (ragam disiplin ilmu) mengapa harus ada? dan bagaimana para ahlinya? Penulis pernah diajak berkeliling sebagian pondok Nurul Iman al-Ashriyyah sambil beliau jelaskan fungsi bangunan dan lainnya, secara tidak langsung dijelaskan pola mengelola pondok. Penulis diminta mengajar ulum al-hadis disini setelah Ust Saqqaf mengajukan beberapa pertanyaan seputar ilmu tersebut.

Di hari guru 25 November 2024, penulis mendoakan semua guru penulis tanpa terkecuali, agar memperoleh rahmat dan ampunan Allah swt dan dilipatgandakan pahalanya bagi mereka yang sudah wafat, dan bagi mereka yang masih hidup agar dipanjangkan umurnya dalam keadaan sehat wa ‘afiat, keluasan rezeki dan keberkahan hidup. al-Fatihah sebagai doa untuk mereka semua, amien.

Tulisan ini telah dimuat secara berseri di website Al-Khairaat Ternate Maluku Utara pada tanggal 15, 21 dan 25 November 2024. Berikut linknya:

https://www.alkhairaat-ternate.or.id/2024/11/15/mujam-al-syuyukh-%d9%85%d8%b9%d8%ac%d9%85-%d8%a7%d9%84%d8%b4%d9%8a%d9%88%d8%ae-geneologi-ilmu-dan-pemikiran-bagian-i/

https://www.alkhairaat-ternate.or.id/2024/11/21/mujam-al-syuyukh-%d9%85%d8%b9%d8%ac%d9%85-%d8%a7%d9%84%d8%b4%d9%8a%d9%88%d8%ae-geneologi-ilmu-dan-pemikiran-bagian-ii/

https://www.alkhairaat-ternate.or.id/2024/11/25/mujam-al-syuyukh-%d9%85%d8%b9%d8%ac%d9%85-%d8%a7%d9%84%d8%b4%d9%8a%d9%88%d8%ae-geneologi-ilmu-dan-pemikiran-bagian-iii-selesai/

 681 total views,  6 views today

Posted in Kajian, Opini.