Paradigma Sanguinis dan Skeptis dalam Kajian Hadis

Moh. Isbat Alfan Ghoffari

Mahasiswa Magister IAT Konsentrasi Ilmu Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Herbert Berg dalam tulisannya berjudul Competing Paradigms in the Study of Islamic Origins: Qur’an 15:89-91 and the Value of Isnads berhasil memaparkan dengan gamblang dua paradigma yang kerap digunakan dalam mengkaji Islam, yakni paradigma sanguinis dan skeptis. Dalam tulisan yang terbit tahun 2003 tersebut, Berg lebih dahulu menegaskan bahwa tujuan dari tulisannya bukan untuk menilai salah satu paradigma yang lebih unggul, melainkan mencoba memahami lebih jauh struktur pemahaman kedua pardigma tersebut. Berg juga berhasil mendemonstrasikan penggunaan dua paradigma ini untuk menganalisis Qur’an Surat al Hijr ayat 89-91, memperlihatkan dua kesimpulan yang berbeda pada penggunaan masing-masing paradigma, dan menunjukkan prinsip-prinsip distingtif antara paradigma sanguinis dan skeptis.

Sanguinis berasal dari kata sanguine yang berarti optimis. Paradigma sanguinis berangkat dari optimisme atas naskah dan narasi awal Islam. Dalam kasus hadis, meski dijumpai beberapa bukti bahwa suatu sanad mungkin saja tidak dapat dipercaya, namun sanguinis tidak langsung serta merta menyatakan seluruh hadis tidak dapat dipercaya. Semangat optimisme Sanguinis membuat hadis menempati posisi vital dalam penyusunan narasi Islam.

Aplikasi paradigma sanguinis dalam menelaah mata rantai hadis penjelasan QS al Hijr ayat 89-91, menghasilkan kesimpulan bahwa baik matan maupun sanadnya dapat diterima dan diverifikasi kebenarannya. Korelasi kuat antara variasi matan dan sanad mengimplikasikan adanya common link yang justru menampakkan transmisi aktual dari matannya.

Di sisi yang berseberangan, paradigma skeptis berangkat dari keraguan atas validitas dan narasi Islam awal. Paradigma ini mempertanyakan seluruh aspek dalam Islam hingga ke bagian-bagian yang sudah mapan dalam Islam. Aplikasi dari paradigma ini bahwa rangkaian sanad dan matan hadis tentang tafsir al Hijr ayat 89-91 tidak dapat digunakan sebagai dasar pijakan informasi sejarah Islam. Dengan kata lain, kaum skeptis tidak mengamini validitas sanad dan matan hadis. Tokoh skeptis semisal Wansbrough, meyakini bahwa sejarah awal Islam dipenuhi dengan konspirasi besar. Meski pendapatnya ini kemudian dibantah oleh banyak kalangan, tidak terkecuali kelompok sanguinis.

Sebagai respon atas narasi yang digaungkan oleh kaum skeptis tentang sejarah awal Islam, beberapa tokoh kenamaan semisal Versteegh, Donner, dan Motzki memberikan argumen yang berinti pokok pada keyakinannya pada ketidakmungkinan adanya konspirasi masif di awal Islam. Konspirasi yang melibatkan jaringan masif masyarakat muslim tidak mungkin disetujui oleh semua pihak, karena itu seharusnya muncul pihak-pihak yang kontra dengan konspirasi, namun faktanya kelompok kontra tidak ada. Donner menggarisbawahi, setidaknya terdapat tiga hal yang menjadi titik lemah kelompok skeptis perihal konspirasi. Pertama, pada awal Islam, banyak muncul kelompok-kelompok ortodoksi Islam, namun anehnya (jika anggapan kaum skeptis benar), seluruh kelompok ortodoksi yang saling bersaing, mengamini narasi sejarah Islam yang satu. Kedua, pembuat narasi sejarah awal Islam yang disetujui oleh seluruh kelompok ortodoksi Islam tidak diketahui profilnya. Ketiga, tidak ada perbedaan pandangan narasi sejarah dari ortodoksi yang tersisa, kesemuanya sama dan seragam. Hal-hal itulah yang menguatkan posisi kelompok sanguinis dari serangan membabi buta kelompok skeptis. Sebagai penutup, panggung besar perhelatan antara sanguinis dan skeptis masih terus berlanjut dan perlu disyukuri sebagai sebuah proses menuju kemajuan ilmu.

 1,994 total views,  2 views today

Posted in Opini.