Budaya dan Agama dalam Pandangan Antropologi: Refleksi atas Hadis Kullu Bid’atin Dalalah

Antropologi merupakan suatu ilmu yang selalu berinteraksi dengan manusia. Atas dasar itulah maka ilmu antropologi sangat terakait erat dengan suatu ilmu yang di sebut dengan sosiologi. Bahkan dalam sejarahnya kedua keilmuan tersebut tidak bisa dipisahkan. Hal tersebut disebabkan keduanya mempunyai basis teori dan fokus studi yang berhubungan satu sama lain. Dalam kajian antropologi suatu ajaran agama pada umumnya bisa di latar belakangi oleh kebudayaan tertentu.

Agama Islam sebagai agama samawi yang diturunkan oleh Allah swt. di tanah Arab kepada Nabi Muhammad saw. tidak lepas dari problem keilmuan di atas. Dalam perspektif antropologi sedikit banyaknya ajaran Agama Islam itu di ambilkan dari kebudayaan masyarakat Arab pada umumnya. Orang Arab pada umumnya memakai cadar (perempuan) dari zaman Nabi sampai sekarang, maka kalau budaya cadar ini dibawakan ke konteks Indonesia, maka cadar ini agak asing dalam pandangan orang-orang Indonesia. Logikanya, orang Arab memakai cadar (perempuan) berfungsi sebagai alat penutup wajah dari pasir dan kabut, karena di tanah Arab pada umumnya Gurun Pasir, sedangkan di Indonesia tidak ada Gurun. Atas dasar inilah dalam konteks ini tidak apa-apa banyak ikhtilafnya (perbedaan), karena selama masih dalam konteks muamalah dan fadhilah amal, tetapi kalau dalam konteks Ibadah dan aqidah maka harus sesuai dengan al-Qur’an dan Hadis.

Contoh lain, kebudayaan memang menjadi suatu hal yang penting dalam mendukung jalannya dakwah agama Islam di Indonesia. Agama Islam sangat mudah diterima oleh masyarakat Indonesia. Orang yang membawa Islam ke Indonesia sangat menghargai kebudayaan yang ada pada saat itu, yaitu kebudayaan Hindu dan Budha.

Walisongo sangat berperan penting dalam penyebaran Islam di Tanah Jawa, bahkan salah-satu pesan Wali Songo yang sangat berkesan adalah pesan Sunan Kudus. Beliau berkata pada masyarakat Kudus untuk tidak menyembelih Sapi di saat Hari Raya Qurban, namun di ganti dengan Kerbau. Ini menunjukan kalau Sunan Kudus sangat menghormati kebudayaan yang ada saat itu, karena umat Hindu sangat memuliakan Sapi dan ini menjadi sesuatu yang Sakral dalam kepercayaannya. Agama Islam pun mengajarkan umatnya untuk bertoleransi kepada penganut lain. Hal ini pun bertujuan untuk menghargai kebudayaan orang lain walupun berbeda agama.

Problematika di masyarakat banyak orang lebih suka mencari-cari kesalahan saudaranya sendiri bahkan yang seagama. Orang Islam contohnya (bukan bermaksud merendahkan), di zaman saat sekarang ini, banyak Ustadz-ustadz yang bermunculan di Indonesia yang menyampaikan dakwahnya dengan menyalakan suatu tradisi di masyarakat, terlebih di pedesaan.

Masyarakat pedesaan pada umumya masih melakukan tradisi-tradisi lama yang bercorak keagamaan, contoh tradisi tahlilan. Tahlilan merupakan serangkaian kegiatan berkumpulnya masyarakat di rumah orang yang baru meninggal, dan di sana di bacakan ayat-ayat al-Qur’an seperti surat Yasin, dan juga di bacakan kalimat-kalimat Taiyyibah (tasbih, tahmid, takbir dan juga tahlil), di mana mereka meniatkan pahalanya untuk arwah mayat yang baru meninggal, secara umum bisa di katakan demikian.

Pelaksanaan tahlilan tentu berbeda-beda di suatu daerah, seperti di daerah Desa Tanjung,Koto VII, Sijunjung, Sumatra Barat tahlilan di lakukan di hari-hari tertentu mulai dari hari ke 1, 2, 3, 7, 14, 40,100, dan 110 hari mayat meninggal. Bahkan di desa tersebut masyarakatnya juga merayakan hari kematian mayat kalau sudah satu tahun meninggal, dengan mengundang alim ulama dan karib-kerabat terdekat. Ini bertujuan untuk mengingat kematian mayat dan membaca ayat al-Qur’an maupun kalimat tayyibah. Setelah tahlilan selesai, biasanya tuan rumah akan menyediakan makanan dan minuman untuk di makan di tempat maupun sebuah bingkisan untuk di bawah pulang seperti Pinyaram dan satu buah Gelas.

Tujuan dari tahlilan ini yang pertama adalah untuk menghadiahkan pahala ayat al-Qur’an maupun kalimat tayyibah kepada si mayit. Kedua, tuan rumah bertujuan melakukan sedekah kepada peserta tahlilan dan pahalanya di niatkan untuk si mayit. Dalam menyikapi hal ini tentu banyak yang berkomentar bahwa tahlilan ini bid’ah karena tidak di lakukan oleh Nabi dan para Sahabat. Komentar-komentar ini banyak di sampaikan di media sosial seperti Fb, Youtube, Instagram maupun media lain yang berdalilkan potongan hadis dari al-Nasa’i no 1578, yang bunyinya kullu bid’atin dalalah wa kullu dalalah fiinnar. Setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka).

Ulama-ulama terdahulu dari kalangan mazhab Syafii, Hambali, Maliki maupun Hanafi berpendapat boleh, dan pahala menghadiahkan kepada mayat sampai, seperti yang di sampaikan oleh Syekh al-Zaila’i dari Mazhab Hanafi bahwa seseorang di bolehkan menjadikan amalnya untuk orang lain, menurut ahlussunnah wal jama’ah, baik shalat, puasa, haji, sedekah, bacaan quran, zikir atau sebagainya, berupa semua jenis amal baik. Pahala nya itu sampai kepada mayit dan bermanfaat baginya’’. (lihat: Usman bin Ali Az-Zaila’i, Tabyinul Haqaiq Syarh Kanzud Daqaiq, juz 5,h.131).

Begitu pun dengan ulama-ulama lain banyak yang berpendapat kebolehan karena melihat banyak sekali kebaikan dalam kegiatan tahlilan tersebut dan kalau di lihat di lapangan kemudaratanya bisa dikatakan tidak ada, karena yang di baca ayat al-Qur’an dan zikir-zikir kepada Allah.

Jadi, hal ini kalau di lihat dengan sudut pandang Antropologi sah-sah saja, karena memang suatu kebudayaan merupakan bagian dari Agama. Para antropolog pun juga sangat netral menyikapi perbedaan dan sangat menghargai kebudayaan maupun tradisi orang lain.

 

Miftahul Ahsan
Prodi Ilmu Hadis (ILHA) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 12,226 total views,  4 views today

Posted in Opini.