Refleksi Isolasi Penderita Corona dari Hadis Tersebarnya Penyakit Tha’un

Minggu terakhir di bulan Januari 2020, masyarakat international semakin ramai membicarakan virus corona sebagai pandemi yang telah menghantui penduduk dunia. WHO yang sebelumnya menjadikan virus tersebut sebagai keadaan darurat di China yang merupakan tempat asal muasal virus corona, mulai khawatir dan mungkin berfikir akan menjadikan corona China tersebut sebagai darurat global seperti pernyataan ketua WHO Tedros Adhanom. Kekhawatiran tersebut sangat beralasan lantaran virus yang berasal dari kota Wuhan di China itu telah menelan korban jiwa 170 orang serta kasus terkonfirmasi mencapai 7711 di seluruh dunia sampai tanggal 30-01-2020 seperti dilaporkan cnbc.indonesia.com.

Tak terkecuali di Indonesia, polemik terjadi di masyarakat seputar WNI yang ada di Wuhan akan dievakuasi lalu dipulangkan ke Indonesia oleh pemerintah. Polemik terjadi lantaran sebagian masyarakat menilai pihak-pihak terkait belum siap jika WNI yang ada di kota tempat virus Corona itu dipulangkan ke Indonesia karena dikhawatirkan justeru akan menjangkiti atau menularkan pada masyarakat lain, sementara sebagian masyarakat lainnya melihat dari aspek kemanusiaan dan menilai kalau WNI yang dipulangkan dari sana tetap memilik hak sebagai warga Negara yang dilindungi oleh pemerintah dan tentu mereka pun tidak serta merta ‘dilepas’ secara bebas ketika sampai di Indonesia.

Kasus menyebarnya penyakit menular di Dunia ini bukanlah kali yang pertama, tahun 2002-2003 dunia juga sempat dihebohkan dengan virus SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) yang disebut-sebut sebagai saudara dari Corona (2019-nCoV). Zaman dahulu, di Romawi pernah pandemi melanda saat terjadi perang antara Athena dan Sparta yang memakan banyak korban jiwa di kedua belah pihak di tahun 430 SM, dan sampai sekarang tidak dikenali wabah penyakit tersebut. Dalam sejarah Islam, tahun 17-18 H/sekitar 638-639 M) penyakit Tha’un (  الطاعون) di Amwas wilayah Syam telah memakan banyak korban jiwa yang diperkirakan 25 ribu jiwa, saat kaum muslim tengah menghadapi Romawi. Ketika itu kaum Muslim di bawah komando Abu Ubaidah  ibn al-Jarrah dan Mu’adz bin Jabal, keduanya secara bergantian wafat di tahun 18 H yang disusul oleh beberapa sahabat di Syam lantaran penyakit tersebut. Sebelumnya ‘Umar ra (w. 23 H) pernah meminta Abu ‘Ubaidah untuk keluar dari Syam namun Abu ‘Ubaidah menolak dengan beberapa alasan.

Fakta penyakit Tha’un di atas menjadikan Sa’ad bin Abi Waqqash (w. 55 H) dan Abd Rahman bin ‘Auf (w. 33 H) menyampaikan cara mengisolasi wilayah dan orang yang terkena penyakit mematikan tersebut berdasar hadis Nabi suci saw dalam riwayat al-Bukhari:

إذا سمعتم بالطاعون بأرض فلا تقدموا عليه وإذا وقع بأرض وأنتم بها فلا تخرجوا فرارا منه…

Artinya: ”bila kalian mendengar penyakit (menular) Tha’un di sebuah tempat, maka janganlah mendatangi tempat itu. Dan jika penyakit itu terjadi di tempat sementara kalian berada di dalamnya (tempat penyakit itu) maka janganlah kalian lari (keluar) darinya.” 

 

Hadis ini menunjukkan penyakit Tha’un merupakan penyakit jenis pandemik yang sangat dikenal ketika itu. Ibn Hajar (w. 852 H/1449 M) menjelaskan kalau larangan mendatangi tempat penyakit itu berada sebab dikhawatirkan penyakit itu akan menjangkiti siapapun yang masuk ke wilayah itu dan melarang mereka yang berada di wilayah tersebut untuk keluar darinya agar orang-orang lain di luar wilayah itu tidak terjangkiti penyakit Tha’un; ini merupakan bentuk sad al-zari’ah/semacam tindakan preventif (Ibn Hajar, XI, 2000).

Meski dikursus ulama terjadi mengenai maksud dan pemahaman hadis ini, namun yang perlu ditekankan bahwa saat itu sahabat seperti ‘Amr bin ‘Ash (w. 43 H) berusaha melakukan interpertasi kontekstual terhadap hadis di atas. Setelah kematian Abu Ubaidah dan Mu’adz lantaran Tha’un, Amar bin ‘Ash menggantikan kedudukan mereka berdua. Amar memimpin kaum muslimin keluar dari Syam menuju pengunungan, lalu Allah swt menyelamatkan mereka dari penyakit pandemik tersebut (Ibn al-Atsir, al-Kamil, II, 1979). Metode yang ditempuh Amar ini menarik mungkin untuk ditiru karena: pertama, kaum muslim yang berada di wilayah Amwas mereka tidak kembali ke Madinah, sehingga mereka tidak menularkan virus Tha’un ke masyarakat pada umumnya; kedua, Amar mencari wilayah lain sebagai tempat isolasi buat kaum Muslim dalam menghadapi penyakit tersebut.

Tindakan Amar bin Ash di atas mungkin serupa atau telah ikut terfikir oleh pihak lain di masa kini seperti pemerintah USA yang telah berusaha mengevakuasi warga negaranya untuk keluar dari Wuhan namun warga tersebut tidak kembali serta merta ke tempat tinggal mereka, melainkan diisolasi sementara di pangkalan Militer California selama 72 jam (3x 24 jam) di sebuah tempat khusus yang terpisah dengan pasukan militer, untuk diperiksa lebih lanjut virus Corona sebelum mereka kembali ke rumah masing-masing. Sebelumnya warga negara USA juga telah diperiksa di Wuhan dan Alaska saat transit sebelum ke California. Tindakan tersebut juga rencana dilakukan oleh pemerintah Australia yang akan mengisolasi warganya ketika mengevakuasi warganya dari China ke pulau Chrismas.

Polemik yang terjadi di Indonesia mungkin disebabkan sebagian masyarakat berfikir apakah ada tempat sementara untuk mengisolasi WNI dari Wuhan yang rencana akan didatangakan oleh pemerintah, karena berbekal dengan beberapa Rumah Sakit yang telah ditunjuk dan telah membuat ruang-ruang isolasi secara khusus namun ruang-ruang itu masih berada di rumah sakit yang siapapun bisa datang ke rumah sakit itu meski tidak ke ruang-ruang isolasi itu karena pemeriksaan penyakit atau keluhan lainnya,  demikian pula rumah-rumah sakit itu juga masih berada di sekitar keramaian, entah itu perkantoran dan pemukiman. Sementara virus Corona penyebarannya tidak hanya melalui bersentuhan langsung namun dapat terjadi melalui udara.

Kartasura, 30 Januari 2020

 

Oleh: Ja’far Assagaf

(Asosiasi Ilmu hadis Indonesia bidang Riset dan Pengembangan Ilmu & Dosen IAIN Surakarta)

 50,292 total views,  2 views today

Posted in Opini.