Konsep tentang Agama dalam Sosiologi dan Relevansinya dalam Studi Hadis

Agama dalam perspektif sosiologi tidak dilihat dari isi sebuah nash atau kitab suci suatu agama, melainkan dilihat dari cara manusia bertingkah laku sebagai hasil pemahamannya terhadap nash atau kitab suci yang mereka yakini. Meski beberapa kelompok masyarakat memiliki kepercayaan yang sama terhadap suatu agama, tetapi sangat tidak mungkin mereka memiliki konsep berpikir dan wujud implementasi yang sama. Contohnya seperti Mesut Özil dengan Andik Firmansyah, keduanya adalah pesepak bola yang beragama Islam tetapi berada di lingkungan yang berbeda. Mesut Özil, berkewarganegaraan German, ia hidup di lingkungan masyarakat minoritas Islam sehingga ekspresi keberagamaan ia berbeda dengan Andik Firmansyah yang berkewarganegaraan Indonesia, meskipun Mesut Özil memiliki darah keturunan Turki dan dibesarkan oleh kedua orang tua muslim. Perbedaan itu dipengaruhi oleh faktor-faktor sosiologis yang salah satunya adalah cara berpikir mengenai konsep agama.

Konsep tentang agama atau dikenal sebagai “the science of religion” berawal dari penelitian Max Müller (1870) yang melakukan penelitian di Inggris tentang tulisan kuno India hingga ia menetap dan akhirnya menemukan gagasan tersebut. (Pals, 1996: 3) Gagasannya mendapat pertentangan dari beberapa pemikir sosio-antropologi Inggris, salah satunya adalah Darwin, karena baginya science dan religion tidak mungkin dijadikan menjadi suatu kesatuan karena keduanya selalu saling bertentangan.(Pals, 1996: 3-4) Kemudian lahirlah teori-teori tentang agama oleh Edward Burnett Tylor, Sigmund Freud, Emile Durkheim, Karl Marx, Mircea Eliade, E. E. Evans Pritchard, Clifford Geertz, (Pals, 1996: 10) Victor Turner, dan Malinowski. Max Müller tidak diangkat sebagai salah satu penggagas teori karena pemikirannya yang telah diwakilkan oleh Emile Durkheim.(Pals, 1996: 10)

Seorang sosiolog pada awalnya tidak sulit meneliti ide tentang penjelasan agama. Tetapi semakin dalam seseorang memahami, semakin banyak kesulitan yang ditemukan. Salah satu halnya yakni bingung dalam memaknai kata “agama”. Dalam sosiologi, agama didefinisikan secara substantif, fungsional, dan simbol. Definisi substantif menjelaskan bahwa agama adalah sebuah pengetahuan teologi. Definisi fungsional menjelaskan bahwa agama memiliki fungsi bagi individu dan masyarakat. (Soehadha, 2014: 7-8) Sedangkan, definisi simbol menjelaskan bahwa agama memiliki banyak simbol yang bermakna. (Soehadha, 2014: 11) Masuk ke dalam pengenalan teori-teori dan atau konsep-konsep agama, pertama, teori agama oleh James Burnett Tylor, baginya agama adalah belief in spiritual being yaitu suatu kekuatan di luar kemampuan manusia. Teori Taylor berbicara tentang manusia yang tidak menyembah berhala tetapi menyembah sosok magis yang ada di dalamnya, dengan kata lain agama dimaknai percaya terhadap roh. (Pals, 1996: 4)

Kedua, teori Sigmun Fred tentang agama dan kepribadian. Ia menyatakan bahwa manusia dalam melakukan segala sesuatu dalam hidupnya karena memiliki dorongan. (Pals, 1996: 60) Ketiga, teori Emile Durkheim yang menyatakan agama adalah masyarakat sebagai sesuatu yang sakral. (Pals, 1996: 94) Keempat, teori Karl Marx yaitu agama sebagai alienasi yang berarti sesuatu yang sangat asing. (Pals, 1996: 137) Kelima, teori Mircea Eliade tentang realitas sakral. (Pals, 1996: 158) Keenam, teori “Construct of Heart” masyarakat yang digagas oleh Evans Pritchard. (Pals, 1996: 198) Ketujuh, teori  Clifford Geertz yang menyatakan agama sebagai sebuah sistem kebudayaan. (Pals, 1996: 233) Kedelapan, agama sebagai teori simbol oleh Victor Turner. Dan yang terakhir, agama sebagai teori fungsionalisme Malinowski. (Soehadha, 2014: 49 dan 65)

Agama adalah elemen aktif yang memiliki peran sangat besar dalam perubahan struktur masyarakat. (Damami, Soehadha, & Ahmad, 2006: 62-63) Agama adalah penyokong berlangsungnya suatu negara. Contohnya adalah pada saat peradilan, saksi disumpah dibawah kitab suci sebagai konsekuensi terberat dengan pengakuannya terhadap Tuhan. (Damami et al., 2006: 80) Di Belanda, agama dianggap sebagai sebuah kemunafikan karena masyarakat meminta sesuatu kepada wujud yang tidak ada dan tidak ada kepastian akan dikabulkannya doa mereka. Hal itu membuat mereka memisahkan agama dari kehidupan sehingga jadilah sebuah sekularitas. (Damami et al., 2006: 169)

Konsep agama seseorang sangat berpengaruh terhadap perilaku yang tampak pada seseorang. Pada agama Islam, kadar keimanan seseorang dapat diukur dalam sikap dan perilaku sosial yang diinformasikan dan diimplementasikan dari hadis-hadis Rasulullah saw. Yusuf al-Qardawi menawarkan prinsip penafsiran hadis yaitu dengan memahami hadis dengan petunjuk Alquran, mengumpulkan hadis dengan judul pembicaraan yang sama (bab), menggabungkan hadis yang kontradiktif, membedakan antara subjek yang diajak bicara apakah matan hadis itu dapat berlaku secara universal atau tidak, membedakan antara kalimat yang denotasi (sebenarnya) dan konotasi (kias), membedakan lafal antar hadis, dan memahami asbab al-wurud yakni kondisi dan tujuan suatu hadis. (Yusuf, 2008: 19-2) Konsep agama dalam sosiologi berperan pada memahami kondisi dan tujuan suatu hadis, asbab al-wurud, dan juga living hadis dalam studi hadis.

Salah satu contoh relevansi konsep agama dalam sosiologi dalam studi hadis adalah adanya pembaruan peraturan di Saudi Arabia untuk perizinan perempuan menyetir kendaraan. (Bowen, 2012: 1) Larangan bagi wanita untuk menyetir kendaraan bukanlah peraturan yang disyariatkan Islam tetapi hasil dari kebudayaan Arab sendiri. (Bowen, 2012: 2) Islam malah memberikan kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan kemampuan diri. (Bowen, 2012: 2) Larangan untuk mengendarai kendaraan itu pada awalnya didasari oleh hadis berikut.

حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةعنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ يَوْمٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id dari Ibnu Abu Dzi`b Telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Abu Sa’id dari bapaknya dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhirat untuk mengadakan perjalanan sejauh sehari perjalanan kecuali disertai mahramnya.” (HR. Muslim 2387)

Wanita tidak diperbolehkan bepergian kecuali dengan mahram disebabkan hasil konsep agama yang dipahami masyarakat Arab yakni wanita adalah seseorang yang perlu dilindungi dan dimuliakan. Jika ia bepergian kemanapun sendiri, ia dapat menjadi fitnah dan juga dapat membahayakan dirinya. Keamanan bangsa Arab pada saat itu tidak seperti di era sekarang sehingga perlu penjagaan yang ekstra terhadap perempuan. Ketetapan masyarakat mayoritas menjadi penentu dari suatu hukum yang berlaku di suatu wilayah. Maka, sebuah terobosan terbaru jika saat ini terjadi perubahan peraturan di Saudi Arabia yang menandakan adanya perubahan konsep pemikiran mereka.

 

DAFTAR PUSTAKA

Bowen, J. R. (2012). A New Anthropology of Islam. New York: Cambridge University Press.

Damami, M., Soehadha, M., & Ahmad, M. (2006). Agama-agama dalam Perspektif Sosiologi. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.

Pals, D. L. (1996). Seven Theories of Religion. New York: Oxford University Press.

Soehadha, M. (2014). Fakta dan Tanda Agama: Sebuah Tinjauan Sosio-Antropologi (I). Yogyakarta: Diandra Pustaka Indonesia.

Yusuf, M. (2008). Metode dan Aplikasi Pemaknaan Hadis (I). Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga.

 

Tentang penulis, Fitria Susan Meliyana Ilmu hadis / UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

 7,775 total views,  4 views today

Posted in Kajian.