Covid-19 (Coronavirus Disease) merupakan virus menular dan mematikan yang pertama kali ditemukan di Wuhan, Hubei, China pada akhir tahun 2019. Virus ini dengan cepat menhantui dunia. Pada awal Maret organisasi kesehatan dunia (WHO) mendeklarasikan pandemik, hal ini dilakukan karena berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat dalam skala global. Hal tersebut tindakan memerlukan pencegahan terhadap jenis penyakit menular tersebut harus secepat mungkin untuk dilakukan.
Di Indonesia sendiri, sebagai negara terpapar Covid-19 sejak awal Maret, menerapkan beberapa skema protokol kesehatan untuk mencegah penularan serta memutus rantai penularan bagi pasien yang sudah dinyatakan positif. Self quarantine atau karantina mandiri merupakan arahan pemerintah, dalam hal ini dipandu secara terpusat oleh Kementerian Kesehatan RI. Sampai pada penjelasan dan tata cara penanganan tersebut tidak ada kendala, namun ternyata Covid-19 terus menular secara masif dan seakan tidak bisa tertangani sehingga membuat Ketua DPR RI berkali-kali mengingatkan pemerintah agar segera membentuk tim nasional penanganan wabah virus corona yang bersifat terpusat (CNN Indonesia, 2020).
Dampak lain dari Covid-19 yang sangat terasa bagi masyarakat Indonesia ialah pada sektor pendidikan, aturan pemerintah untuk stay at home tetap di rumah, kerja di rumah, beribadah di rumah dan belajar dari rumah menyebabkan persoalan lain yang kaitannya dengan merubah sistem belajar jarak jauh, atau pembelajaran dari rumah dengan memanfaatkan media online seperi youtube, facebook, instagram, whatsap grup dan aplikasi video online lainnya. Tentunya banya pihak menilai sistem tersebut kuranglah efektif, bahkan tidak sedikit dari peserta didik menuangkang protesnya karena dianggap boros, memakan banyak biaya, harus terhubung internet yang stabil, ditambah lagi mereka yang tempat tinggalnya di daerah pelosok yang penduduknya sama sekali tidak mengenal internet. Tapi kenyataan seperti ini harus ditelan bersama-sama sebagai bentuk mematuhi aturan pemerintah guna menanggulangi penyebaran lebih banyak lagi orang yang terpapar Covid-19.
Keluar dari banyaknya keluhan terkait sistem pembelajaran daring di situasi pandemi ini, institusi penddidikan lainnya seperti pondok pesantren yang mana sebagai pusat kajian khazanah keislaman klasik juga harus dituntut merubah pola pengajiannya. Pola pengajian kitab kuning di pesantren yang biasanya dilakukan secara bersama-sama dalam satu tempat yang dipimpin oleh kyai (dalam hal ini guru) dengan membacakan makna kitab, sesuai bahasa daerah setempat, juga sesekali kyai menerangkan penjelasan-penjelasan lainnya yang berhubungan, kemudian para santri (dalam hal ini murid) mendengarkan dengan seksama, menulis keterangan-keterangan dari sang kyai, merupakan model pendidikan yang oleh banyak para pakar dinilai mempunyai banyak pengaruh positif yang kembalinya bagi si santri itu sendiri, seperti menambah penguasaan dalam gramatikal Arab, mampu menganalisis sesuai penjelasan dari kyainya, selain itu juga menambah wawasan keagamaan untuk selanjutnya diimplementasikan dalam sikap keseharian (pendidikan moral).
Akan tetapi, dari sisi persoalan yang sama dengan pendidikan formal pada umumnnya, sejak pertama kali dikeluarkan aturan pemerintah tentang social distancing atau physical distancing, banyak pesantren memulangkan para santri-santrinya, meliburkan kegiatan-kegiatan pesantren selama kondisi pandemik ini mereda. Maka, untuk menyiasati hal tersebut, agar pengajian tetap dilaksanakan meski dengan cara berbeda, dalam hal ini para pengasuh pesantren menyelenggarakan pengajian daring atau pengajian jarak jauh dengan memanfaatkan media-media sosial berbasis online seperti youtube, facebook, instagram dan lain sebagainya.
Seperti tradisi pengajian-pengajian di pesantren yang dilakukan pada bulan Ramadan kemarin, satu sisi bulan Ramadan merupakan bulan paling istimewa dalam mindset orang muslim di seluruh dunia. Hal ini berdasarkan hadis nabi yang diriwaayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Abu Hurairah r.a.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتْ الشَّيَاطِينُ
Kesempatan ini oleh banyak orang dijadikan sebagai ladang untuk memperbanyak kegiatan-kegiatan positif sebagai manifestasi mengisi bulan penuh berkah yang kelak akan dituai di akhirat nanti, tidak terkecuali di komunitas pesantren. Biasanya sejak pertengahan bulan Syakban (bulan hijriyah sebelum bulan Ramadan) pesantren-pesantren berlomba-lomba mengadakan pengajian kitab-kitab klasik, bahkan animo para santri dari berbagai pelosok pun mengimbanginya dengan berbondong-bondong untuk mengikuti pengajian tersebut tak ubahnya pemburu mutiara di dasaran samudra.
Akan tetapi, bulan sejuta berkah tahun ini berbeda dengan Ramadan-Ramadan sebelumnya, dalam konteks pesantren, para santri harus terkungkung oleh aturan pemerintah, satu sisi mereka sadar bahwa mengikuti pemerintah (ulil amri) merupakan suatu keharusan setelah mematuhi perintah Allah swt. dan rasulnya dalam koridor yang hubungannya dengan kemaslahatan bersama, apalagi di situasi pencegahan penularahan Covid-19 ini. Namun, pengembaraan mutiara ilmu di setiap pesantren yang terkendala ini tidak menyurutkan mereka, para santri dalam hal ini dituntut melek media sebagai jalan alternatif untuk tetap mengambil ilmu atau hikmah dari setiap pengajian yang diselengarakan oleh para kyai pesantren melalui berbagai media online yang digunakan.
Realitas ini tidak bisa kita pungkiri, perubahan sistem pengajian Ramadan di pesantren dalam situasi pandemik seperti tahun ini bukanlah suatu kegagalan dari sistem yang selama ini diadopsi pesantren selama berabad-abad. Justru ini adalah terobosan bagi komunitas pesantren, apalagi banyak orang yang hanya menjustifikasi bahwa dunia keseharian pesantren hanya disibukkan dengan dogma-dogma klasik, tanpa memperdulikan kemajuan teknologi. Memang pesantren dan setiap yang berhubungan dengannya, dalam konteks keagamaan merupakan garda terdepan atau penggerak utama (driving force), namun harus tetap sadar dengan realita, sehingga yang berhubungan dengan IT kita manfaatkan untuk nasrul ilmi mendakwakan ilmu itu sendiri. Amma bakdu, akhirnya meminjam kata pepatah, al-mukhafadatu ‘ala al-qodimi sholih wa al-akhdu bil jadidi al-ashlah, pesantren harus tetap menjaga ajaran-ajaran klasik yang baik, disisi lain juga tetap perlu memperhatikan realita saat ini yang lebih baik.
Penulis: Romadhoni Mahasiswa Ilmu Hadis UIN Sunan Kalijaga, sekarang tinggal di Pesantren Krapyak Yogyakarta.
3,036 total views, 4 views today

Sebagai sebuah ijthad dalam rangka mengembangkan kajian Studi Hadis di Indonesia dibentuklah sebuah perkumpulan yang dinamakan dengan Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia (ASILHA). Sebagai sebuah perkumpulan ASILHA menghimpun beragam pemerhati hadis di Indonesia. Himpunan ini terdiri atas akademisi dan praktisi hadis di Indonesia dengan memiliki tujuan yang sama.