Nuansa Keberagamaan, serta Sosial-Budaya di Tengah Pandemi Covid-19

Akhirnya pada Senin (3/4/2020), Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo merilis dua WNI di Indonesia yang positif terjangkit positif virus crona baru alias Covid-19. Menurut pak presiden, dua WNI itu tersebut sempat kontak dengan warga negara Jepang yang terindeteksi virus corona setelah meninggalkan Indonesia dan tiba di Malaysia. Perlu kebijakan dan peran negara yang benar-benar serius melindungi warganya. Terbukti akhirnya Indonesia tidak zero corona virus.

Harusnya sejak awal pemerintah melakukan langkah tegas supaya menutup rapat faktor penyebab penyebaran virus yang begitu meluap dengan cepatnya, seperti menutup kran ekspor-impor barang masuk dari negara-negara yang terdampak, menutup sementara wisatawan asing terutama dari negara yang terkena wabah dan tidak lagi memasukan migran atau TKA dari China dan berbagai upaya lainnya.

Bulan mulia yang selalu dinantikan oleh para pemeluk agama Islam diseluruh dunia yakni bulan suci Romadhan, untuk pertama kalinya dilalui dengan agak sedikit berbeda, pembatasan sosial, mengempanyekan jaga jarak, dan menghindari keramaian. Yang biasanya meriah dengan segala jenis ritual peribadatan di masjid, tarawih, tadarrusan, peringatan nuzul al- Qur’an hingga tradisi bangun sahur keliling hingga buka bersama di berbagai tempat kini cenderung sepi. Umat Islam pun sama-sama menahan diri untuk melaksanakan sholat tarawih, dan lebaran di kediaman masing masing dengan sunyinya.

Namun perlu diperhatikan, dipikirkan dan disadari bersama dalam konsep dasar sosiologi-antropologi agama dan analisis problem sosial-budaya keagaman dalam kontek Indonesia. Banyak faktor penghambat dan perlambatan bahkan memperburuk penanganan Covid-19 disebabkan karena cara pandang yang kurang tepat dalam menyikapai dan merespon covid-19 sebut saja anakronisme persfektif dalam banyak kasus, anakronisme ini membuncah menjadi semacam “kengototan”. Misalnya yang paling nampak dan mencolok adalah anakorisme sosial budaya, sebagiamana yang kita ketahui bahwa masyarakat kita dicirikan dengan budaya komunitarian-komunalistik (keramaian,ngumpul-ngumpul, bergerombolan) yang dikenal dengan memiliki panduan sosiologis yang kuat; pola hidup saling membantu (gotong royong) sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama serta empatinya. Ikatan sosial tersebut seringkali dimanifestasikan melalui setuhan secara fisik misalnya salaman, berpelukan, cium pipi dan sejenisnya.

Menghentikan setidaknya mengurangi untuk sementara waktu sosial-budaya tersebut demi mencegah persebaran Covid-19 tentu bukanlah hal yang mudah, bahkan perasaan kikuk, ganjil, tidak enakan dan tidak lazim ketika mereka mengabaikan ritual tersebut yang biasanya. Pasti ada sesuatu yang hilang karena ada kontradiksi kognitif antara nalar sosial (social distancing) dengan komunitarian tersebut. Berangkat dari inilah masyarakat kita mengacuhkan protokol kesehatan dan panduan pemerintah. Sebagian kita mengganggap protokol kesehatan dapat meredupkan ke-sosial-an yang telah melekat kuat di masyarakat. Padahal Badan Kesehatan Dunia sudah menetapkan Covid-19 pandemi mikroba, penyebaran yang begitu cepat dari manusia ke manuisa yang dapat mematikan, dengan sifatnya yang asimtomatik (gejala yang tidak terlihat).

Dalam Islam kita mengenal al-dharuriyyatul khams atau lima prinsip dasar yang menjadi landasan hukum atas pemberlakuan syariat tertentu. Prinsip ini yang disebut dengan nama lainnya ushulus syariah (pokok syariat). Salah satu prinsipnya adalah hifzhun nafs, hifzhun nufus, atau jaminan atas keselamatan jiwa manusia. Nyawa rakyat merupakan sesuatu yang perlu diprioritaskan oleh seorang pemimpin. Para ulama dan para fatwa di seluruh dunia islam seperti Maroko, Malaysia, Yaman, Yordan, Mesir dan Aljazair bahkan kita juga Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa.

Lebih dari itu para tokoh umat juga sudah bersuara meminta untuk kita mentaati seruan pemerintah. Hal ini tiada lain dan tiada bukan bermaksud untuk kemaslahatan bersama, menyelamati jiwa manusia, memutus rantai penyebaran Covid-19 ini. Tapi sampai hari dalil-dalil al-Qur’an dan Hadis banyak dari mereka yang mengabaikan “kita ini tidak boleh takut corona, kita ini hanya takut kepada Allah swt. urusan hidup mati itu takdir Allah swt.”. Padahal yang memerintahkan kita untuk meninggalkan mudarat itu adalah Allah swt. dan Rasulallah saw.
Sebagaimana yang di jelaskan dalam al-Qur’an Q.S. al-Baqrah (2): 195 : وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”.
Dalam al-Nisa (4): 71 juga di jelaskan :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ فَانْفِرُوا ثُبَاتٍ أَوِ انْفِرُوا جَمِيعًا
“Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama”

Pada zaman Rasulallah saw., ummat kala itu menghadapai pertempuran perang dengan lawannya, ketika dalam pertempuran sebelumnya harus ada persiapan yang sangat matang, baik itu menggunakan senjata dan pelindung lainnya. Rasullah saw. dalam pertempuran, beliau maju dengan menggunakan baju besi, perisai, pedang, topi baja, guna melindungi dari musuh. Hari ini, dunia khususnya Indonesia, umat dihadapi dengan wabah penyakit berupa virus yang menular pandemi covid-19, dikiaskan dengan maslah perperangan di zaman Rasullah kitapun wajib menjaga diri dan melindungi dari sesuatu serangan yang berbahaya dalam menjaga nyawa masing masing manusia. Sebagaimana Rasullah saw. menganjurkan seseorang untuk menghindari pengidap penyakit menular و فِرَّ مِنَ المجذومِ كماتَفِرُّ مِنَ الأسدِ “Hindari orang yang memiliki penyakit menular seperti kamu menghndari seekor singa” (HR. Bukhari No. 5707).

Bertepatan dengan buan suci Ramadhan dan hari raya idul fitri, segala jenis ritual keagamaan dalam beberapa waktu dilakukan di kediaman masing masing dengan bersilaturrahami menggunakan beragam media massa atau sosial media (video call). Jadi menghindarkan diri dari kebinasaan, dari penyakit, berikhtiar menghindar dari wabah, itu merupakan bagian dari perintah agama yang merupakan sunnatullah bila dikerjkan.

Oleh karena itu mari sama-sama kita ikuti fatwa ulama, mentaati seruan pemerintah serta simak kata ilmuan sebagai ikhtiar semoga wabah pandemi ini segera berlalu dari tengah-tenggh kita supaya segala jenis kegiatan baik keagamaan maupun sosioal-budaya dan lainnya dapat berjalan lancar sebagimana biasanya.

Linda Maesura
Prodi Ilmu Hadis
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 3,049 total views,  4 views today

Posted in Opini.