Hadis dalam Tinjauan Kuantitas

(Azzura Fathanul Umara – Ilmu Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Tujuan utama dari seluruh proses berkaitan dengan hadis ialah mengambil ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya. Kedudukan hadis sebagai sumber kedua ajaran islam, setelah Al-Qur’an, merupakan faktor utama yang menjadikan rumitnya proses penyampaian dan pengambilan hujjah dari suatu pesan dari Rasulullah saw. Selain itu, faktor jauhnya hadis mulai dikodifikasi dengan masa hidup Rasulullah saw. turut memiliki andil dalam konstruksi ilmu hadis sebagaimana kita ketahui saat ini. Lantas, bagaimanakah cara menimbang aspek ke-hujjah-an suatu hadis?. Parameter yang digunakan bisa berupa kuantitas dan kualitas. Kali ini kita akan membahas hadis berdasarkan pada kuantitas periwayatnya.

Hadis secara kuantitas dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad. Klasifikasi yang demikian disesuaikan dengan jumlah periwayat yang terlibat dalam periwayatan sebuah hadis. Perbedaan jumlah tersebut juga turut membedakan kedudukan hadis dari aspek ke-hujjah-annya.

Hadis mutawatir merupakan hadis yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari hadis ahad, bahkan ia dapat dikatakan pasti berasal dari Rasulullah saw. Secara etimologis mutawatir berasal dari kata al-tawatur yang bermakna ‘yang datang secara berurutan’. Istilah mutawatir digunakan untuk menyebut hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta pada setiap tingkatan sanadnya dan diterima berdasarkan panca indra.

Jumlah yang dijadikan standar untuk menyebut sebuah hadis mutawatir berbeda-beda antara ulama satu dan lainnya. Terdapat ulama yang menyatakan bahwa jumlah minimalnya ialah 4 (empat) orang, atau 5 (lima) orang atau sepuluh, dua puluh, bahkan hingga tujuh puluh orang. Namun, satu yang hal yang sepertinya disepakati orang ulama ialah bahwa pada setiap tingkatan sanad jumlah periwayat harus seimbang. Kemudian satu hal yang menjadikan hadis mutawatir memiliki derajat yang tinggi disebabkan karena penerimaan periwayat harus melalui panca indra (as-sima’). Metode yang demikian dalam tahammul wa ada’ul hadis memiliki derajat yang tinggi.

Hadis mutawatir dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu lafdzi dan ma’nawi. Hadis mutawatir lafdzi merupakan hadis yang menunjukkan ada persamaan redaksi dari setiap periwayatan yang meriwayatkan sebuah hadis yang sama. Di sisi lain, hadis mutawatir ma’nawi diriwayatkan dengan matan yang memiliki makna sama oleh beberapa periwayat berbeda. Walaupun terdapat pembagian yang demikian, tingkat ke-hujjah-an hadis mutawatir tidak berubah dan kebenaran tidak diragukan.

Setelah hadis mutawatir terdapat hadis ahad yang menduduki derajat kepastian yang lebih rendah. Hadis ahad merupakan hadis yang memiliki jumlah periwayat yang tidak mencapai kriteria hadis mutawatir. Oleh sebab itulah hadis ahad memiliki derajat lebih rendah dari hadis mutawatir. Hadis ahad dibagi ke dalam 3 (tiga) jenis, yaitu masyhur, aziz, dan gharib.

Hadis ahad masyhur atau hadis masyhur ialah hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari 2 orang peiwayat, namun derajatnya tidak mencapai mutawatir. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, tingkat ke-hujjah-an dari hadis ahad lebih rendah dari hadis mutawatir sehingga hadis masyhur walaupun memiliki derajat tertinggi diantara hadis-hadis ahad lainnya namun penelitian kualitas masih diperlukan.

Di bawah hadis masyhur terdapat hadis aziz. Hadis aziz ialah hadis yang memiliki jumlah periwayat tidak kurang dari 2 (dua) di setiap tingkatan sanadnya. Sama halnya dengan hadis masyhur, untuk menentukan apakah hadis aziz dapat diterima atau tidak sebagai hujjah perlu dilakukan penelitian dari aspek kualitas.

Yang terakhir ialah hadis gharib yang secara bahasa bermakna jauh, sendirian, atau aneh. Secara umum hadis gharib dipahami sebagai hadis yang terdapat hanya satu periwayat dimanapun dalam tingkatan sanadnya. Namun, ke-gharib-an suatu hadis juga bisa disebabkan oleh sebab lain. Terdapat hadis yang dikategorikan sebagai gharib karena matannya yang asing atau sulit dipahami. Hadis gharib pun bukan hanya  terjadi karena kesendirian rawi, yang disebut sebagai gharib mutlaq, namun juga karena kesendirian dari segi sifat rawi (dhabit atau adilnya rawi) yang disebut sebagai gharib nisbi. Gharib-nya suatu hadis juga dapat disebabkan oleh hadis yang hanya diriwayatkan dalam wilayah tertentu saja. Hal yang penting untuk diperhatikan ialah bahwa gharib-nya suatu hadis tidak secara langsung membuat hadis tersebut dinyatakan sebagai lemah, namun tetap perlu dilakukan pengkajian kualitas terlebih dahulu.

 93,544 total views,  10 views today

Posted in Opini.