Bayu Prasetyo
Magister Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Konsentrasi Hadis, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Pendahuluan
Diskusi mengenai otoritas hadis sebagai sumber petunjuk dan hukum agama mengalami evolusi yang cukup signifikan dari masa ke masa (Musa, 2008). Hal ini dapat diperhatikan dengan adanya perubahan-perubahan yang muncul dalam perdebatan dan pertentangan mengenai konsep hadis sebagai kitab suci selain Al-Qur’an. Pertama, perkembangan diskusi tentang hadis sebagai kitab suci pada masa awal hanya dapat diperhatikan melalui kitab-kitab karangan para ulama yang membahas bagaimana perdebatan antara para pendukung hadis (ahl al-hadis) dengan para penentangnya (Ahl Al-Kalam), misalnya dalam kitab Ta’wil Mukhtalif Al-Hadis karya Ibnu Qutaibah (w:276 H) dan kitab Jima’ul Al-Ilm karya Imam Asy-Syafi’I (w:204 H). Adapun pada masa kontemporer, berkat kemajuan teknologi digital dalam berbagai aspek kehidupan, terutama di bidang kajian keislaman mempermudah akses terhadap sumber pengetahuan (Hamid, 2024). Penelusuran melalui world wide web memfasilitasi forum-forum diskusi, seperti diskusi mengenai perdebatan hadis sebagai kitab suci masih berlangsung dalam forum-forum yang cukup terbuka bagi masyarakat pada umumnya, seperti yang dapat dilihat dalam beberapa situs web yang cukup terkenal, semisal https://free-minds.org/, https://www.ahl-alquran.com/, dan media informal lainnya (Musa, 2008). Kedua, kegiatan diskusi pada masa awal hanya melibatkan para tokoh baik dari kalangan ulama maupun pemimpin suatu aliran/kelompok, sedangkan pada masa kontemporer diskusi melibatkan banyak elemen masyarakat, termasuk juga para pelajar yang baru belajar maupun masyarakat pada umumnya. Mereka menggunakan kebebasan untuk mengutarakan berbagai pandangannya mengenai otoritas hadis sebagai sumber petunjuk agama. menarik untuk dilihat bagaimana perkembangan diskusi-diskusi yang sedang berlangsung apakah membawa perubahan yang cukup signifikan, dalam artian apakah para Qur’ani (golongan penentang hadis) akan terpinggirkan posisinya seperti yang terjadi pada masa awal, atau sebaliknya (Musa, 2008).
Kajian mengenai otoritas hadis sebagai petunjuk dan sumber agama memiliki beberapa kecenderungan. Pertama, kajian mengenai studi terhadap pemikiran tokoh-tokoh yang mengingkari sunnah sebagai kitab suci selain Al-Qur’an seperti yang dilakukan oleh Achmad Nurul Furqan(Furqon, 2019) dan Naufal Syahrin Wibowo(Wibowo, 2020). Kedua, kajian mengenai metodologi para reformis Al-Qur’an, seperti yang dilakukan oleh Fadhli Lukman(Fadhli, 2015). Ketiga, studi kritis atas hadis sebagai sumber ajaran islam, seperti yang dilakukan oleh Nurlaila(Nurlaila & Zulheldi, 2023) dan Wahyudi(Darmalaksana, Pahala, & Soetari, 2017). Oleh karenanya, menarik untuk diperhatikan bagaimana keterkaitan penelitian yang ada dalam topik mengenai hadis sebagai sumber petunjuk dan hukum agama.
Tulisan ini berupaya melengkapi penelitian yang telah dikemukakan, secara khusus menjawab bagaimana perkembangan diskusi mengenai otoritas hadis sebagai sumber petunjuk dan hukum agama?, bagaimana gagasan-gagasan yang dibangun oleh para Qur’ani?, dan bagaimana kontribusi Aisyah Y. Musa dalam mengatasi polemik tentang otoritas hadis di masa modern.
Isi Buku “Hadith As Scripture”
Buku “Hadis sebagai kitab suci” terdiri dari 3 bagian (part) topik pembahasan. Argumen dalam buku ini dibuka dengan bagian pengantar yang membahas kecenderungan kajian para ulama maupun sarjana-sarjana barat terhadap hadis nabi. Secara garis besar, kecenderungan para sarjana dalam mengkaji hadis nabi terbagi menjadi 2 kecenderungan, yakni kajian terhadap keaslian/ otentisitas hadis, serta kajian terhadap otoritas hadis sebagai sumber hukum dan pedoman kedua setelah Al-Qur’an. kajian terhadap otentisitas suatu hadis dilakukan melalui pendekatan kajian historis dengan melihat probabilitas suatu hadis, apakah perkataan atau tindakan tertentu yang dilaporkan dalam suatu hadis dapat ditelusuri kembali dengan kepastian historis, atau probabilitas tertentu kepada nabi dan para sahabat.
Kecenderungan kedua membahas bagaimana otoritas hadis sebagai sumber petunjuk selain Al-Qur’an. otoritas merujuk kepada posisi yang diberikan kepada hadis yang berperan sebagai sumber hukum dan bimbingan agama. pertanyaan yang berkaitan dengan topik ini meliputi bagaimana peran nabi, baik perkataan maupun praktiknya?, apa sifat wahyu Ilahi?, dan apakah hadis mewakili ajaran nabi yang diberikan oleh Allah Ta’ala?. Ketiga hal tersebut dalam beberapa hal saling bergantung dan berkaitan satu sama lainnya.
Bagian pertama dari buku “hadis sebagai kitab suci” membahas tentang diskusi terhadap pembahasan hadis sebagai sumber petunjuk dan bimbingan agama pada masa awal. Topik ini mencermati sumber dan isu dalam kontroversi yang beredar dalam kajian hadis sebagai otoritas, termasuk didalamnya penjelasan mengenai penolakan dari 2 aliran utama yang melakukan penentangan terhadap hadis nabi. Aliran pertama merupakan penentang umum terhadap otoritas hadis sebagai sumber petunjuk dan hukum agama. Aliran kedua menentang otoritas hadis tertentu dalam menentukan doktrin agama dan teologi. Kedua jenis penentangan ini merupakan tantangan terhadap otoritas hadis, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Keduanya ditargetkan dalam kitab Jima’ Al-Ilm karya imam Asy-Syafi’I (w.204 H), Ta’wil Mukhtalif Al-Hadis karya Ibnu Qutaibah (w.276 H), maupun kitab Taqyid Al-Ilm karya Khatib Al-Baghdadi sebagai sesuatu yang memiliki kelemahan (Musa, 2008).
Bagian kedua membahas mengenai diskusi hadis sebagai sumber otoritas agama islam di masa kontemporer/modern. Dua aliran penentangan yang berbeda terhadap hadis ditemukan pada masa modern. Yang pertama adalah penentangan terhadap sumber otoritas kitab suci selain Al-Qur’an dan yang kedua adalah masalah konten suatu hadis yang dianggap menjadikan agama sebagai bahan ejekan. Kajian terhadap otentisitas hadis tetap menjadi perhatian, namun perhatian yang lebih utama adalah pemberian otoritas kitab suci selain dari Al-Qur’an (Musa, 2008).
Suatu perbedaan penting di masa kontemporer yakni tidak kuatnya ketergantungan terhadap karya-karya pendukung hadis untuk sekilas melihat pandangan dan argumen para penentang hadis. dikarenakan diskusi-diskusi tentang otoritas hadis sebagai kitab suci baru-baru ini sedang berlangsung, bahkan berkelanjutan sehingga karya-karya penentang hadis baik dalam bentuk karangan maupun media diskusi tersedia dengan mudah. Analisis tentang bagaimana setiap pihak menyajikan pandangan-pandangan yang saling berlawanan dapat memberikan wawasan tentang keakuratan penyajian argumen. Hal ini pada gilirannya memberikan suatu perspektif untuk mengevaluasi penyajian pandangan-pandangan lawan terhadap karya-karya pendukung hadis di masa awal (Musa, 2008).
Aspek penting dari perdebatan di masa modern adalah perdebatan yang melibatkan umat muslim dari semua lapisan masyarakat, dimana umat islam biasa yang terpelajar bukan seorang cendikiawan adalah peserta utama. Dale Elckmann mengatakan “yang membedakan era sekarang dan era sebelumnya adalah banyaknya umat beragama yang terlibat dalam rekontruksi agama, komunitas, dan masyarakat. Di era sebelumnya para pemimpin politik atau pemimpin agama akan memberikan aturan, dan yang lainnya diharapkan untuk mengikuti. Saat ini dorongan utama dari perubahan nilai-nilai agama dan politik datang dari bawah (Musa, 2008).
Tantangan modern terhadap peran dan kewenangan hadis datang dari dua gerakan. Gerakan pertama datang dari tokoh-tokoh terkenal yang berusaha memberikan pengaruh pemikirannya dalam menentang hadis sebagai kitab suci. Tren ini berlanjut pada paruh kedua abad ke dua puluh dan awal abad ke dua puluh satu. Berdasarkan hasil analisis Jonathan Brown, para penentang hadis tidak pernah menarik banyak pengikut, namun argumen mereka terus muncul sepanjang sejarah muslim hingga saat ini. Brown menelusuri asal mula apa yang disebutnya sebagai “skripturalisme Al-Qur’an” pada awal abad ke 20 di anak benua India, dengan mencatat bahwa ide-ide paralel muncul pada saat yang sama di Mesir. Selain itu, penentangan dan perdebatan terhadap hadis terjadi di belahan dunia yang lain, khususnya di Malaysia dan Amerika Utara serta cabang-cabang gerakan Tolu-e Islam Parwez telah berakar dan berkembang dari Eropa dan Amerika Utara hingga Kuwait dan Afrika Selatan. Selain itu, kemunculan Internet dan world wibe web (w.w.w.) telah membuka diskusi tentang penggunaan dan otoritas hadis kepada lebih banyak peserta dan pengamat daripada sebelumnya (Musa, 2008).
Adapun tokoh-tokoh yang cukup terkenal dalam gerakan penolakan terhadap otoritas hadis dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
No | Nama Tokoh | Karya | Gagasan/Pemikiran |
1. | Rashad Khalefa (1935-1990) | Qur’an, Hadith, and Islam | a. Hadis dan Sunnah yang sangat populer tidak ada sangkut pautnya dengan nabi Muhammad SAW dan kepatuhan terhadapnya merupakan bentuk pembangkangan terhadap tuhan dan nabi terakhirnya (Wibowo, 2020).
b. Hadis dan Sunnah merupakan rekayasa setan (Musa, 2008). c. pernyataan tersebut menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an, ayat Al-Kitab, dan hadis untuk mendukung kesimpulannya (Musa, 2008). |
2. | Ghulam Ahmad Parwez | Islam: A Challenge to Religion, The Qur’an: The Final Revelation, dan Hadith: A Historical Perspective | a. Al-Qur’an adalah satu-satunya sumber otoritas yang sah dalam Islam. Semua ajaran dan praktik harus berlandaskan dengan Al-Qur’an (Ilmiah, 2022).
b. hadis tidak seharusnya dijadikan sumber hukum atau pedoman dalam praktik keagamaan (Ilmiah, 2022). c. ketergantungan terhadap Sunnah menyebabkan konflik di kalangan umat Islam. Hal ini mengalihkan perhatian dari inti ajaran Islam, yakni Al-Qur’an (Ilmiah, 2022).
|
3. | Kassim Ahmad (1933-2017) | Hadith: A Re-evaluation | a. menempatkan hadis pada kedudukan yang setara dengan wahyu berarti menciptakan sumber petunjuk lain (tandingan) (Wibowo, 2020).
b. kegagalan gerakan reformasi yang dilakukan oleh para pembaharu disebabkan penggunaan hadis bersama Al-Qur’an sebagai dualitas wahyu (otoritas hadis Bersama Al-Qur’an) (Musa, 2008). c. kunci keberhasilan generasi awal umat islam adalah menjadikan Al-Qur’an satu-satunya sumber hukum dan bimbingan agama (Musa, 2008). |
4. | Edib Yuksel (1957-sekarang) | Qur’an: A Reformist Translation, Manifesto For Islamic Reform, and Critical Thinker for Islamic Reform. | a. Sunnah dan Hadis tidak dapat dijadikan otoritas setelah Al-Qur’an, karena hadis ditulis 200 tahun setelah nabi wafat. Sunnah merupakan usaha manusia sepeninggal nabi Muhammad dengan menginpor ajaran Yahudi, Kristen, dan Zoroaster ke dalam ajaran Al-Qur’an (Wibowo, 2020).
b. kata hadis dalam Al-Qur’an sejatinya merupakan hal yang negatif (Wibowo, 2020). c. Sunnah bukanlah perkataan maupun perbuatan nabi Muhammad, namun merujuk pada makna sunnatullah (ketentuan Allah) (Wibowo, 2020). d. Nabi Muhammad SAW merupakan manusia biasa yang tidak memiliki keistimewaan apapun (Wibowo, 2020). |
Adapun sumber internet yang menyediakan sarana diskusi mengenai otoritas hadis sebagai kitab suci dapat dilihat sebagai berikut:
No | Nama Website | Deskripsi |
1. | https://free-minds.org/ | /free-minds.org/ Merupakan situs web Al-Qur’an yang paling menarik dan kontroversial. Situs ini dimotori oleh Layth Saleh Al-Sayban, kolega Edib Yuksel yang mengarang karya Bersama Qur’an: A Reformist Translation. Situs ini tidak hanya terfokus pada tuhan yang maha Esa, namun mengundang semua orang dari berbagai kepercayaan seperti sunni, syi’ah, yahudi, budha, bahkan atheis untuk menguji sistem kepatuhan yang didasarkan pada tuhan semata. Meskipun begitu, mereka tetap mengakui dan menggunakan Al-Qur’an sebagai satu-satunya referensi dalam menentukan apa artinya menjadi muslim. situs ini menjadi wadah bagi setiap pribadi dalam mengemukakan pendapat dan pandangannya terhadap suatu topik permasalahan. Semua ide-ide terbuka yang secara radikal menantang tentang keyakinan lama maupun doktrin keagamaan menjadi wawasan yang berharga bagi perkembangan ilmu pengetahuan (Musa, 2008). |
2. | https://www.ahl-alquran.com/ | Situs ini merupakan situs web resmi organisasi Mesir yang dikenal sebagai “Ahl- Al-Qur’an: pusat Al-Qur’an internasional yang didirikan oleh Dr. Ahmad Subhy Manshour. Situs ini berfungsi sebagai sarana penerbitan karya Dr. Manshour dalam bahasa arab dan inggris. Situs ini berkomitmen menyebarkan visi Islam yang sesuai dengan semangat Al-Qur’an. Mereka menekankan bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang lengkap, komprehensif, dan cukup sebagai satu-satunya sumber hukum dalam Islam. Berbeda dengan Al-Qur’an, mereka melihat hadis maupun sunnah hanya merendahkan dan menghina nabi, juga sebagai alat yang mendorong untuk melakukan terorisme. Mereka melihat beberapa konten dalam hadis membawa kepada distorsi dan ejekan terhadap agama. sehingga, mereka menilai beberapa hadis tidak layak dijadikan sebagai sumber petunjuk dan bimbingan agama (Rizqa Ahmad, 2020). |
3. | https://www.quran-islam.org/ | Situs ini merupakan sarana atau wadah bagi komunitas yang dinamakan qur’an alone, dimana mereka melihat eksistensi Al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber normatif dalam islam (Musa, 2008). |
4. | https://about.com/ | Situs ini merupakan pertukaran daring antara para ahli Al-Qur’an dan muslim tradisional di halaman Islam. Didalamnya menggambarkan bagaimana muslim biasa memandang pertanyaan tentang hadis dan tantangan terhadap otoritas mereka. Muslim dari berbagai latarbelakang dan negara aktif dalam diskusi ini. Melalui diskusi ini, prinsip umum atau gambaran yang lebih besar adalah hal yang terpenting (Rizqa Ahmad, 2020). |
Situs-situs yang disebutkan menjadi media sekaligus sarana bagi setiap orang yang ingin berdiskusi mengenai fenomena-fenomena maupun doktrin-doktrin keagamaan. Kebebasan yang ditawarkan kepada siapapun untuk mengungkapkan pendapat dan pandangannya menjadi keuntungan tersendiri. Dikarenakan setiap orang yang terlibat didalamnya tidak diharuskan mengungkapkan identitas, artinya dapat dilakukan secara anonim. Misalnya, diskusi mengenai shalat. Beberapa argumen yang ditemukan didalamnya meliputi (Musa, 2008):
- “Apa yang jelas bagi para pembaca situs ini adalah bahwa tuhan telah menyediakan bagi umat manusia dengan sebuah system, bukan serangkaian ritual.”
- “Shalat tidak didasarkan pada kinerja fisik atau daftar periksa rincian, tetapi merupakan koneksi kepada yang maha kuasa sendiri dan karenanya fokus utama seseorang harus selalu pada fikiran dan pesan, bukan tubuh atau gerakannya.”
- “Shalat bukanlah ritual doa kepada tuhan. Shalat juga bukan bentuk komunikasi apa pun kepada tuhan. Shalat juga bukan bentuk hubungan/ikatan, atau kewajiban yang dilakukan secara khusus antara manusia dengan tuhan.”
- Shalat adalah bentuk komitmen, perjanjian, kewajiban, dan tugas yang harus dipatuhi manusia satu sama lain. Shalat adalah perintah tuhan, yang kita temukan dalam Al-Qur’an yang memberi tahu kita bagaimana cara menaati komitmen, kewajiban, hubungan, dan ikatan antara manusia dan dalam rutinitas sehari-hari kita.”
Masing-masing kesimpulan ini dicapai dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas tentang shalat, namun masing-masing kesimpulannya berbeda. Penekanan seperti yang disebutkan di atas memunculkan kekhawatiran Imam Asy-Syafi’I bahwa tanpa hadis-hadis nabi, orang-orang akan melakukan apa pun yang mereka anggap pantas atas nama praktik keagamaan, sebagaimana yang terwujud dalam berbagai pendapat yang ada dalam forum-forum diskusi online (Musa, 2008).
Namun, penekanan semacam itu pada penerapan tingkat keseragaman dalam praktik keagamaan memunculkan beberapa pertanyaan penting. Akankah islam akan dirusak dalam beberapa hal tanpa keseragaman seperti itu?, haruskah diskusi terbuka tentang pendapat tersebut dianggap merusak agama?, atau haruskah mereka dilihat sebagai apa yang dikatakan dalam forum diskusi tersebut?, apakah yang dimasksudkan merupakan sesuatu yang menjadi penggugah fikiran?, apakah menggugah pemikiran merupakan ancaman bagi Islam?. Tentu saja terdapat sebagian muslim yang berpendapat bahwa mendiskusikan ide-ide secara terbuka dan radikal akan menantang keyakinan yang telah lama dan mendalam tentang praktik dan doktrin keagamaan tidak boleh diizinkan. Meskipun demikian, telah jelas melalui literatur-literatur awal bahwa diskusi semacam ini telah terjadi di masa lalu, dan Islam mampu bertahan selama lebih dari satu milenium. Dapat dikatakan bahwa pemikiran para oposan hadis memberikan wawasan yang berharga, selain apa yang ditemukan dalam kitab-kitab maupun artikel yang membahas tentang autentisitas dan otoritas hadis sebagai petunjuk dan sumber hukum agama (Musa, 2008).
Bagian ketiga dari buku ini berisi penerjemahan kitab Jima’ Al-Ilm karya Imam Asy-Syafi’I dalam bahasa Inggris dan membandingkannya dengan versi terjemahan Al-Qur’an. dalam konteks ini, Aisha Y. Musa merupakan sarjana pertama yang menerjemahkan karya imam Asy-Syafi’I dalam bahasa inggris. Hal ini bertujuan menyajikan kembali gagasan-gagasan imam Asy-Syafi’I dalam bahasa Inggris yang paling jelas dan mudah dibaca, sambil tetap setia pada penggunaannya semaksimal mungkin tanpa terdengar kaku.
Analisis
Kejelian Aisha Y. Musa dalam melihat berbagai respon para sarjana terhadap gerakan anti hadis pada masa pembentukan awal sampai masa kontemporer dengan memberikan peta konsep perjalanan para pengingkar sunnah dari masa ke masa patut diapresiasi (Rizqa Ahmad, 2020). Kejelian ini menampakkan berbagai pandangan yang berbeda-beda dari beberapa kelompok yang memiliki visi yang sama yakni gerakan Al-Qur’an alone dan Ahl Al-Qur’an. pada akhir bukunya, Aisha melakukan penerjemahan Jima’ Al-Ilm dan membandingkan beberapa versi terjemahan Al-Qur’an. Aisha berhasil membawa diskursus baru tentang autentisitas dan otoritas hadis dengan penelusuran pada teks-teks klasik. Penelusurannya terhadap perdebatan polemik hadis pada teks-teks klasik di masa pembentukan awal memberikan perspektif baru untuk mempertanyakan ulang gagasan kelompok oposan hadis. Kontribusi ini mengantarkan pada pemahaman kritis tentang penyelidikan mengenai pandangan oposisi terhadap hadis yang terekam dalam berbagai literatur sunni klasik selama berabad-abad lamanya. Kemudian, Aisha mengkomparasikannya dengan oposisi pada masa kontemporer. Tentu saja ini adalah upaya yang menguras energi dan fikiran (Rizqa Ahmad, 2020).
Aisha mampu melakukan rekonstruksi ulang dari retakan sejarah yang terputus-putus dalam persoalan polemik hadis dari masa ke masa dengan melakukan penelusuran terhadap literatur-literatur yang telah ada sebelumnya. Dengan melakukan pengujian terhadap berbagai karya seperti Jima’ Al-Ilm, Ta’wil Mukhtalif Al-Hadis, Taqyid Al-Ilm, dan seterusnya mengantarkan Aisha pada suatu Kesimpulan. Alasan utama penentangan terhadap keberatan transmisi dan recording hadis lebih berkaitan erat dengan penulisan material hadis sebagai rival dari Al-Qur’an yang mempunyai otoritas sebagai petunjuk dan sumber hukum. Namun disaat yang sama, berita tentang persetujuan dan perizinan dalam melakukan penulisan hadis bersamaan dengan muncul dan eksistensi dokumentasi terhadap hadis sekitar abad ke 2-3 H, menunjukkan bahwa ketidaksetujuan yang ada bukan semata-mata bentuk keberatan atas praktek menulis itu sendiri (Rizqa Ahmad, 2020).
Kontribusi Aisha Y. Musa dalam persoalan dualitas wahyu tuhan menjadi kata kunci dalam perdebatan yang terjadi. Sebagian meyakini bahwa otoritas scriptural tidak hanya dimiliki oleh Al-Qur’an, begitu juga hadis. meskipun pengkodifikasiannya berlangsung belakangan, Aisha Y. Musa dalam konteks ini melihat bahwa hadis merupakan teks suci yang memiliki kekuatan kewahyuan pada sosok nabi Muhammad SAW. argumentasi Aisha terletak pada pandangannya bahwa Hadis memiliki otoritas yang tinggi, sama dengan Al-Qur’an. Material hadis dianggap sebagai teks yang otoritatif bersanding dengan Al-Qur’an (Rizqa Ahmad, 2020).
Setelah melakukan penelusuran terhadap literatur-literatur klasik sebelumnya, Aisha menemukan argumentasi yang lebih kuat dari kelompok pendukung hadis ketimbang kelompok para penentang hadis. Narasi yang digunakan oleh kelompok penentang hadis lebih banyak menggunakan asumsi semata. Bahkan, Aisha menyimpulkan bahwa tidak ada argumentasi original tentang gagasan para penentang hadis pada masa pembentukan awal (formatif). Sekali lagi, argumen tersebut dibangun setelah melakukan pengkajian terhadap literatur-literatur klasik sebagai pijakan argumen. Menarik untuk melihat bagaimana keberlangsungan diskusi mengenai otoritas hadis sebagai kitab suci. apakah para penentang hadis akan mengalami situasi dan kondisi yang sama seperti pada masa lalu, atau sebaliknya (Rizqa Ahmad, 2020).
Namun, kurangnya keseimbangan antara perspektif historis dan kontemporer yang lebih menonjolkan diskusi historis dibandingkan dengan analisis terhadap implikasi kontemporer membuat pembahasan tentang dampak praktis dari argumen al-Qur’an alone konteks kehidupan muslim saat ini kurang mendalam. Selain itu, kurangnya penyajian tentang pandangan para ulama yang mendukung hadis secara komprehensif menyebabkan analisis mengenai otoritas hadis terasa kurang berimbang. Menarik untuk diikuti bagaimana perkembangan diskusi mengenai otoritas hadis di masa mendatang. Meskipun demikian, buku hadith as scripture menjadi kontribusi yang sangat berharga dalam studi hadis, terutama karena keberaniannya mengangkat isu-isu kontroversial tentang otoritas hadis dalam sejarah dan masa kini.
Kesimpulan
Kontribusi Aisha Y. Musa dalam merekontruksi kembali gagasan-gagasan para oposan hadis dalam literatur-literatur klasik, kemudian membandingkannya dengan argumen-argumen penentang hadis pada masa kontemporer membawa diskursus baru pada kajian mengenai otentisitas dan otoritas hadis dengan penelusuran karya-karya klasik. Selain itu, usaha penerjemahan kitab Jima’ Al-Ilm karya Imam Asy-Syafi’I dalam bahasa Inggris memudahkan para peneliti maupun akademisi memahami ide-ide maupun gagasan imam Asy-Syafi’I dalam kitabnya dapat dipahami dengan mudah.
Namun, kurangnya keseimbangan antara perspektif historis dan kontemporer yang lebih menonjolkan diskusi historis dibandingkan dengan analisis terhadap implikasi kontemporer membuat pembahasan tentang dampak praktis dari argument al-Qur’an alone konteks kehidupan muslim saat ini kurang mendalam. Selain itu, kurangnya penyajian tentang pandangan para ulama yang mendukung hadis secara komprehensif menyebabkan analisis mengenai otoritas hadis terasa kurang berimbang. Menarik untuk melihat bagaimana perkembangan diskusi mengenai otoritas hadis di masa mendatang. Meskipun demikian, buku hadith as scripture menjadi kontribusi yang sangat berharga dalam studi hadis, terutama karena keberaniannya mengangkat isu-isu kontroversial tentang otoritas hadis dalam sejarah dan masa kini.
Daftar Pustaka
Darmalaksana, W., Pahala, L., & Soetari, E. (2017). Kontroversi Hadis sebagai Sumber Hukum Islam. Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya, 2(2), 245–258. https://doi.org/10.15575/jw.v2i2.1770
Fadhli, L. (2015). Studi Kritis atas Qur’an: A Reformist Translation. Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran Dan Hadis, 53(2), 181–202.
Furqon, A. N. (2019). Hadis Sebagai Sumber Otoritas Ajaran Islam. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Hamid, A. (2024). Peran Website dalam Penyebaran Hadis di Era Digital. El-Nubuwwah: Jurnal Studi Hadis, 2(2), 155–184.
Ilmiah, I. (2022). Ingkar Sunnah (Argumen dan Tokohnya). Jurnal Ilmu Hadis, 1(2), 1–21.
Musa, A. Y. (2008). Hadith As Scripture. New York: Palgrave Macmillan.
Nurlaila, & Zulheldi. (2023). Problematika Hadis Sebagai Sumber Ajaran Islam. Journal of Student Research, 2(1), 46–58. https://doi.org/10.55606/jsr.v2i1.2462
Rizqa Ahmad, W. H. (2020). Polemik Otoritas Hadis: Kontribusi Aisha Y. Musa Dalam Peneguhan Hadis Sebagai Kitab Suci. Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadith, 10(01), 27–47.
Wibowo, N. S. (2020). Epistemologi Ingkar Sunnah (Studi Kritis Pemikiran Rashad Khalifa, Edip Yuksel dan Sam Gerrans). UIN Sultan Syarif Hidayatullah.
283 total views, 4 views today

Sebagai sebuah ijthad dalam rangka mengembangkan kajian Studi Hadis di Indonesia dibentuklah sebuah perkumpulan yang dinamakan dengan Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia (ASILHA). Sebagai sebuah perkumpulan ASILHA menghimpun beragam pemerhati hadis di Indonesia. Himpunan ini terdiri atas akademisi dan praktisi hadis di Indonesia dengan memiliki tujuan yang sama.