In Memoriam Kiai Alfatih Suryadilaga: Teman yang Soleh

Oleh: Andi Rahman

Allah banyak memberi anugerah kepada saya, salah satunya berupa teman-teman yang soleh.

Saat mengikuti sebuah seminar, saya menginap di hotel bersama Kiai Alfatih. Di malam hari setelah menyampaikan presentasi dan mendengarkan presentasi orang lain, kami banyak ngobrol dan berdiskusi di kamar.  Tidak perlu waktu yang lama untuk menjadi akrab, walaupun kami baru saja bertemu, sebab kami memiliki banyak kesamaan (al-arwah junud mujannadah). Saya tumbuh di pesantren, sebagaimana beliau, dan saya menggemari hadis juga seperti beliau. Keesokan harinya, kami sudah sangat akrab, bagaikan teman yang sudah saling mengenal dalam waktu yang sangat lama.

Sosoknya lembut dan murah senyum. Kiai Alfatih tidak berpenampilan selayaknya ulama besar dengan jubah dan sorban yang berkibar-kibar. Namun keilmuannya mendalam, sangat dalam, dan dirinya merupakan sosok pribadi yang mulia. Tidak aneh, sebab kiai Alfatih sejatinya adalah sosok ulama yang jenius, anak dari ulama yang mulia, cucu dari ulama yang mulia, dan  cicit dari ulama yang mulia, dan seterusnya. Saat itu saya tidak tahu betapa kiai Alfatih memiliki darah biru dalam dunia pesantren, namun saya sudah tahu bahwa beliau merupakan ulama yang mulia.

Kiai Alfatih bersama kolega sesama dosen hadis mendirikan Asosiasi Ilmu Hadis (Asilha), dan saya diajak menjadi salah satu pengurusnya. Pertemanan kami menjadi semakin akrab. Informasi yang saya terima, pak Alfatih kemudian diminta oleh banyak program studi hadis di seluruh Indonesia untuk menjadi narasumber dalam seminar. Saya tahu, bahwa banyak kolega yang meminta perkenan beliau untuk menjadi semacam konsultan dan pembimbing dalam penyelenggaraan program studi hadis. Beliau bersedia, dan selalu berkenan untuk menjadi teman (sekaligus guru) bagi siapapun yang memerlukannya. Dengan Asilha, dosen-dosen dan peneliti hadis difasilitasi untuk saling bersinergi. Selanjutnya, kajian hadis menjadi semakin meriah di kampus-kampus dan di masyarakat.

Akan ada banyak informasi terkait aktivitas keilmuan dan kelembagaan yang dilakukan oleh kiai Alfatih. Namun saya hanya akan menuliskan kesan yang saya terima selama berteman dengan beliau.

Kiai Alfatih sangat santun, bahkan di hadapan murid dan orang yang secara status sosial berada di bawahnya. Saya merasa sangat dihargai oleh beliau, dan itu merupakan sifat yang melekat pada ulama yang akrab dengan hadis: yuwaqqir kabirana wa yarham shaghirana (menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda). Beliau tahu saya hanyalah santri hadis, namun beliau sering memanggil saya Kiai, Syaikh, dan pak Dekan. Saya berbahagia, dan berharap panggilan itu menjadi doa untuk saya dari orang soleh yang merupakan seorang kiai, syaikh, dan kualifikasinya di atas sekedar jabatan dekan fakultas.

Kiai Alfatih pernah mengingatkan bahwa menjadi pejabat artinya kita harus paham banyak hal, sehingga bisa mengambil keputusan dengan baik dan benar, bekerja dengan baik bersama kolega dan pegawai lainnya, serta memunculkan inovasi yang progressif. Sebenarnya, pesan kiai Alfatih adalah saya harus banyak belajar banyak hal, yang kemudian saya tafsirkan bahwa tujuannya adalah supaya kita bisa pemimpin yang tidak memanipulasi atau dimanipulasi, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Kiai Alfatih yang saya tahu sudah menerapkannya, di mana secara keilmuan beliau sudah mapan, di waktu yang sama penguasaan terhadap teknologi dan perangkat kepemimpinan juga mapan.

Melalui Whatsapp, kami bersilaturahim. Biasanya sekedar bertanya kabar dan saling mendoakan. Beberapa hari sebelum beliau masuk rumah sakit, saya mengirimkan pesan untuk meliburkan diri dari cium tangan selama pandemi. Beliau menjawab, “sedang lbr (libur kuliah) pak dekan”. Keesokan harinya, kondisi kesehatan beliau menurun dan kemudian wafat.

Dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa bahwa orang yang belajar dan mengajar dinilai sebagai sabilillah (man kharaj fi thalab al-‘ilm fa huw fi sabilillah hatta yarji’). Kiai Alfatih wafat dengan status sebagai kiai dan dosen, yang mengajar santri dan kiai-kiai, maka beliau berhak mendapat pahala syahid dan mati fi sabilillah. Rahimahullah rahmatan wasi’ah.

Sebagai seorang teman saya merasa sangat kehilangan sosok kiai Alfatih. Namun Al-Qur’an dalam surah al-Zukhruf ayat 67 menyatakan bahwa pertemanan yang didasari oleh ketakwaan akan langgeng bermanfaat di Akhirat. Mudah-mudahan Allah mempertemukan saya dengan kiai Alfatih di surga, untuk kembali saling menyapa dan berbahagia bersama.

 11,177 total views,  2 views today

Posted in Opini.